Makrifatullah
وَلَـئِن
سَـاَلـتَـهُـمْ مَـنْ خَـلَـقَ السَّـمـوَاتِ وَالاَرْضَ وَسَـخَّرَ
الشَّـمْسَ وَالـقَـمَـرَ لَـيَـقُـولُـنَّ الله فَـاَنى بُـؤفَـكُــونَ
“Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka, ‘Siapakah yang
menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?’ Tentu
mereka akan menjawab, ‘Allah’. Maka betapakah mereka dapat dipalingkan
dari jalan yang benar” (QS Al-Ankabut: 61).
Ikhwah Filah
Pada
sebuah pertandingan bola voli antar-RT memperingati hari proklamasi di
bilangan Mampang Jaksel, seorang penonton, sebut saja Nico, merasa
jengkel melihat ulah seorang bapak setengah baya yang menyandera bola
voli dengan cara mendudukinya. Karuan beberapa jenak pertandingan sempat
terhenti. Bola voli itu disandera akibat smash salah seorang pemain di
seberang net tepat mengenai tubuh bapak yang dikenal bernama Haji
Mugni.
Panitia hanya diam saja. Melihat pemandangan itu, Nico
yang baru sebulan tinggal di sebuah rumah kontrakan dekat lapangan bola
voli, langsung mendekati Haji Mugni yang belum dikenalnya. Nico
mengumpat kesal sembari merebut bola voli yang diduduki Haji Mugni,
lalu melemparkannya ke tengah lapangan. Pertandingan voli dilanjutkan
kembali. Haji Mugni diam saja. Panitia salut dengan keberanian Nico.
Setelah kejadian itu, salah seorang panitia membisikkan sesuatu ke
telinga Nico. Aneh. Wajah Nico langsung pucat. Selidik punya selidik,
rupanya panitia itu baru saja memberi tahu bahwa orang yang bernama Haji
Mugni itu adalah seorang jawara yang disegani.
Begitulah Nico, lantaran belum mengenal (ma’rifah) Haji
Mugni ia berani menentang Haji Mugni. Tapi setelah diperkenalkan oleh
seseorang, siapa sesungguhnya Haji Mugni, muncullah rasa takutnya. Sama
halnya dengan seorang anak balita yang “berani” menyentuh api atau
memegang kabel listrik bertegangan tinggi. Tindakan itu sama sekali
bukan tindakan berani, tapi sekali lagi karena faktor ketidaktahuan.
Dalam
Islam, orang-orang yang “berani” melanggar ketentuan Allah, apakah itu
shalat, puasa, atau zakat, dalam beberapa kasus hal itu disebabkan
lantaran mereka belum ma’rifah kepada Allah dalam arti sesungguhnya. Ini
mirip dengan kisah orang-orang kafir Quraisy pada masa Rasulullah Saw.
yang apabila ditanyakan kepada mereka siapa yang menurunkan hujan dari
langit dan yang menumbuhkan pepohonan dari bumi, mereka akan menjawab
Allah. Tapi, bila mereka diperintahkan untuk meng-Esa-kan Allah dan
menjauhi penyembahan berhala, mereka akan mengatakan bahwa penyembahan
berhala yang mereka lakukan adalah warisan budaya leluhur yang harus
dijaga dan dilestarikan.
Dalam Islam, mengenal Allah (ma’rifatullah) adalah persoalan penting dan wajib, karena hal ini menyangkut aqidah.
فَـاعـْلَـمْ
اَنــَّـه لاَاِلــهَ اِلاَّ اللهُ وَاسْـتَـغْـفِـرْ لِـذَنـبِـكَ
وَلِـلمُـؤمِـنِـيْنَ وَالمــُؤمِـنتِ وَاللهُ يَـعْـلَـمُ
مُـتَـقَـبَّـلَـكُـمْ وَمَـثْوـكُـمْ
“Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada ilah melainkan Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi dosa orang-orang mukmin laki-laki
dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat
tempat tinggalmu” (QS Muhammad: 19).
Ikhwah fillah
Dalam
ayat ini, Allah Swt. menggunakan fi’il amr (kata kerja perintah) yang
berarti wajib setiap Muslim untuk ma’rifah kepada Allah.
Kenal
bukan hanya sekedar tahu. Kita tahu Bush Presiden Amerika Serikat, tapi
kita baru kenal Bush setelah membaca dan melihat sepak terjangnya yang
angkuh, arogan, hobi berperang, dan menindas umat Islam lewat televisi
dan media cetak. Dari informasi-informasi tersebut, akhirnya kita
menyimpulkan bahwa kezaliman Bush harus segera dihentikan. Inilah konsep
ma’rifah yang sebenarnya. Ma’rifah adalah sebuah proses perpikir yang
menghasilkan tindakan, baik berupa pernyataan maupun sikap.
Imam
Ghazali menyatakan bahwa ma’rifah adalah sebuah tingkatan kecerdasan,
yaitu mengumpulkan dua atau lebih informasi untuk menghasilkan sebuah
kesimpulan. Dan dari kesimpulan itulah muncul tindakan atau sikap. Bukan
ma’rifah namanya bila apa yang diketahuinya tidak menghasilkan
tindakan. Seseorang yang mengaku mengenal Allah, tapi tidak menghasilkan
ketundukkan, ketaatan, loyalitas, dan penghambaan kepada Allah,
sesungguhnya dia berlum ma’rifah kepada Allah.
Seseorang yang
sedang jatuh cinta akan selalu memikirkan kecantikan, kebaikan,
kelembutan, dan keramahan kekasihnya. Memikirkan hal-hal semacam itu
sudah cukup membahagiakan hatinya. Selain itu, ia pun akan selalu
menjaga jangan sampai kekasihnya benci dan menjauhi dirinya. Oleh
karenanya, ia akan selalu tampil baik, sopan, ramah, murah hati, dan
lembut di depan kekasihnya. Kalaupun ia memiliki sifat buruk, maka di
hadapan kekasihnya ia akan berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan
sifat-sufat buruk tersebut. Orang yang tengah jatuh cinta, biasanya
selalu berusaha untuk menyelami sifat dan hobi sang kekasih dan sedapat
mungkin berusaha untuk mendekatkan diri dengan sifat dan hobi
kekasihnya itu, meskipun sebenarnya sifat dan hobinya berbeda.
Seperti
itulah seharusnya orang yang mengaku ma’rifah kepada Allah. Mari kita
resapi sebuah teladan tentang ma’rifatullah seorang anak manusia.
Ketika menuruni sebuah lembah, Umar bin Khaththab yang ditemani salah
seorang sahabatnya bertemu dengan seorang anak yang tengah
menggembalakan ratusan ekor kambing milik tuannya. Umar ingin menguji
ma’rifatullah anak tersebut dengan medesaknya agar mau menjual seekor
saja dari kambing gembalaannya. “Juallah kepadaku salah seekor kambing
yang engkau gembalakan itu,” pinta Umar. “Aku tidak berhak menjualnya,
karena kambing-kambing itu milik tuanku,” jawab si penggembala.
“Katakan saja pada tuanmu bahwa salah seekor kambing hilang diterkam
srigala,” uji Umar. Dengan tegas si penggembala berkata, “Aku bisa saja
mengatakan salah seekor kambing milik tuanku hilang atau mati diterkam
srigala. Mungkin ia akan mempercayai alasanku, tapi bagaimana dengan
Allah? Bukankah Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui?” Mendengar
jawaban itu, Umar menangis terharu. Lalu beliau membebaskan penggembala
itu dengan cara menebusnya.
Perhatikanlah! Orang yang ma’rifah
kepada Allah meyakini bahwa setiap gerak langkahnya, ucapannya, dan
getaran hatinya selalu diawasi oleh Allah, karena Allah Maha Melihat
dan Maha Mengawasi. Semut hitam yang berjalan di atas batu hitam di
malam kelam tak luput dari pengawasan-Nya. Sehelai daun kering yang
jatuh dari pohonnya di tengah hutan belantara tak lepas dari
perhitungan-Nya. Sebutir debu yang diterbangkan angin di tengah padang
pasir yang luas ada dalam kuasa-Nya. Deburan ombak di tengah samudera
ada dalam genggaman-Nya.
هُـوَ الَّذِيْ خَـلَـقَ السَّـمَـوَاتِ
وَالاَرْضَ فِيْ سِـتَـةِ اَيــَّامٍ ثُـمَّ اسْـتَـوَى عَـلَى الاَرش
يَـعْـلَـمُ مَـا يَـلِـجُ فِـى الاَرضِ وَمَـا يَـخْـرُجُ مِـنهَـا
وَمَـا يَـنْـزِلُ مِـنَ السَّـمَـآءِ وَمـَا يَـعْـرُجُ فِـيْـهَـا
وَهُـوَ مَـعَـكُـمْ اَيـنَ مَـا كُـنـتُـمْ وَاللهُ ِبمَـا
تَـعْـمَـلُونَ بَصِيرٌ
“Dialah
yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa. Kemudian Dia
bersemayam di atas Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan
segala apa yang keluar daripadanya, dan apa yang turun dari langit dan
apa yang naik kepadannya. Dan Dia besamamu di mana saja kamu berada.
Dan Allah Maha Melihat apa kamu kerjakan” (QS Al-Hadid: 4).
Dengan
keyakinan seperti ini, mereka tidak berani melanggar perintah dan
larangan Allah. Mereka tidak berani memakan harta yang bukan miliknya,
mereka tidak berani berdusta, dan mereka tidak berani melangkah di luar
garis yang telah ditetapkan oleh Allah. Setiap pelanggaran akan ada
dosa, dan setiap dosa akan berujung pada siksa api neraka. Ma’rifatullah
akan melahirkan rasa takut pada siksa Allah.
Ikhwah fillah
Renungkanlah!
Orang yang mengenal Allah dengan pengenalan yang mendalam, yakin bahwa
Allah Maha Pengasih dan Penyayang. Betapa banyak nikmat yang telah
Allah berikan kepada manusia, tapi sering tidak disadari oleh manusia.
Kita sering memuji-muji indahnya pemandangan alam yang terhampar di
depan mata, tapi kita jarang memuji Pemberi mata kita. Kita sering
kagum mendengar suara gemercik air mengalir dari bebatuan, tapi jarang
sekali kita mengagumi kepada Pencipta telinga kita. Kita sering
merasakan nikmatnya aneka makanan yang disajikan, tapi kita lupa pada
Pemberi lidah.
Apa yang akan kita rasakan seandainya Allah
me-nonfungsi-kan mata kita? Bagaimana sekiranya Allah mencabut
pendengaran kita? Dan apa yang kita rasakan bila Allah menghilangkan
daya kecap lidah kita? Semua itu mudah bagi Allah. Dan kita dapat
menanyakan hal itu kepada orang-orang yang telah kehilangan
nikmat-nikmat tersebut.
Ikhwah fillah
Ma’rifatullah
semestinya melahirkan rasa cinta dan ketergantungan kepada Allah.
Ma’rifatullah seharusnya memunculkan berbagai macam harapan, kiranya
Allah mempertahankan dan menambah semua nikmat dan karunia yang telah Ia
berikan.
Ma’rifah kepada Allah dapat kita lakukan dengan cara
memikirkan dan menganilisis semua ciptaan Allah di jagat raya ini.
Rasulullah Saw. bersabda,
تَـفَـكَّـرُوا فِى الخَــلْـقِ اللهِ وَلاَ تَـفَـكَّـرُوا فِـى ذَاتِ اللهِ
Pikirkanlah ciptaan-ciptaan Allah, dan jangan pikirkan tentang Dzat Allah.
Al-Qur`an banyak mendorong kita untuk mendayagunakan potensi akal kita untuk mengenal Allah.
سَنُـرِيـهِـمْ
ايـتِـنَـا فِـى الافَـاقِ وَفِـى اَنـفُـسِـهِـمْ حَـتَّى
يَـتَـبَـيَّـنَ لَـهُـمْ اَنــَّهُ الحــَقُّ اَوَلَـمْ يَـكْفِ
بِـرَبِّكَ اَنــَّهُ عَـلَى كُـلِّ شَـيْـئٍ شَـهِـيْـدٌ
“Kami
telah memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di
segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka
bahwa Al-Qur`an itu adalah benar. Dan apakah Rabbmu tidak cukup (bagi
kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (QS Fushshilat: 53).
Sementara
itu, kebodohan (jahl), kesombongan (takabbur), penyimpangan, dan
kezaliman adalah penyakit-penyakit yang dapat menghambat seseorang untuk
ma’rifah kepada Allah. Jauhilah sifat-sifat tersebut. Semoga Allah
menjernihkan hati dan pikiran kita dan menjauhkan diri kita dari
penyakit-penyakit yang dapat menghambat proses ma’rifah kita kepada
Allah. Wallahu a’lam bishshawab.
Syamsu Hilalsumber:http://www.khutbah-jumuah.co.cc/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar