Protokol Kyoto yang baru-baru ini diberlakukan adalah sebuah langkah
masyarakat dunia untuk mengatasi fenomena pemanasan global. Sering kita
mendengar bahwa Bumi semakin panas (global warming), namun terjadi pula pendinginan(global dimming).
Dalam sebuah konferensi internasional mengenai bujet radiasi (suatu
istilah yang merujuk pada memanas/mendinginnya bumi akibat perubahan di
atmosfir) dan parameter aerosol [1], ternyata menyimpulkan juga bahwa
bumi semakin dingin! Pengukuran berjangka panjang yang dilakukan
menunjukkan radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi mengalami
penurunan. Beberapa pakar yang melakukan pengukuran terutama di Eropa
mendapati terjadi penurunan radiasi lebih dari 10% antara tahun 1960
hingga 1990.
Penurunan radiasi yang dapat berimplikasi serius pada lingkungan dan
cuaca global itu terbesar dialami oleh mantan Uni Soviet sebesar 20%
antara 1960 hingga 1987. Di Australia juga dicatat tingkat curah hujan
mengalami penurunan, dan bukan tren pemanasan global. Kecenderungan data
curah hujan ini didapati pula cocok dengan tren global dimming.
Kajian di pegunungan Alpen di Swiss juga menyimpulkan terjadi
pendinginan antara 1981-1995, dilanjutkan dengan pemanasan setelah 1995.
Kita juga mungkin pernah mendengar tentang hujan asam dan gangguan
kesehatan akibat asap tebal kebakaran hutan. Apa yang menyebabkan
kesemuanya ini? Yang pasti, terjadi suatu perubahan pada atmosfir kita.
Apa yang terdapat di atmosfir? Udara! jawaban itu tidak salah, namun
jika kita arahkan teleskop dengan pembesaran hingga berskala mikron ke
atmosfir, akan kita temukan adanya aerosol.
Apa itu aerosol?
Istilah aerosol digunakan untuk menyebut partikel-partikel halus yang tersebar di atmosfir Bumi dalam ukuran yang berbeda-beda, pada kisaran 0.001 micrometer hingga 1000 micrometer (1 micrometer = satu per sejuta meter). Meningkatnya jumlah aerosol yang dilepas ke atmosfir (misalnya partikel-partikel sulfat, komponen organik instabil, karbon, dsb.) akibat emisi alamiah dan antropogenik (istilah yang mengacu pada aktifitas buatan manusia), telah mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dalam ukuran 0.5 hingga 2 W/m2. Satuan radiasi itu menyiratkan bahwa pada permukaan bumi seluas 1 m2, intensitas cahaya matahari mengalami hambatan/terhalang aerosol di atmosfir sebesar 0,5 hingga 2 Watt.
Besarnya angka kisaran perkiraan para ahli itu diakibatkan oleh sangat miskinnya pengetahuan kita mengenai sifat alami pembentukan aerosol dan proses-proses yang terlibat di dalamnya. Selain itu data pengukuran yang akurat dan rinci mengenai aerosol ini sangat terbatas keberadaannya. Kompleksitas aerosol di atmosfir ini juga menjadi semakin tinggi akibat emisi gas-gas efek rumah kaca yang menyebabkan terjadi efek pemanasan global, sehingga angka ini juga mengalami berbagai kompensasi. Sifat aerosol yang sangat dinamis karena senantiasa bergerak dan berubah di atmosfir, baik secara fisis maupun kimiawi menyebabkan para ahli mengalami kesulitan dalam mengukur besaran radiasi ini padahal kemampuan untuk memprediksi perubahan cuaca akibat perubahan aerosol ini memerlukan tidak hanya pengetahuan mengenai emisinya saja, melainkan perpindahan dan reaksinya yang sangat kompleks di atmosfir.
Efek radiasi aerosol
Partikel-partikel aerosol menghamburkan (atau memantulkan) dan menyerap radiasi sinar matahari. Sifat menyerap radiasi mengakibatkan memanasnya lapisan atmosfir yang mengandung aerosol, sementara sifat menghambur radiasi (scattering) menyebabkan redistribusi (penyebaran kembali) radiasi, termasuk membaliknya radiasi matahari itu ke arah luar bumi (luar angkasa). Efek radiasi langsung aerosol tergantung pada sifat fisis yang disebut sebagaisingle scattering albedo (SSA. SSA didefinisikan sebagai perbandingan antara radiasi yang dihambur dengan yang diserap oleh partikel-partikel aerosol. Di atmosfir, partikel-partikel berukuran 0.1 – 1 micrometer merupakan partikel yang paling efektif menghambur radiasi, sehingga sangat penting peranannya dalam mengatur cuaca global. Ada 3 parameter fisis yang sangat penting dalam mengukur sifat radiatif aerosol, yakni: distribusi ukuran (size distribution), indeks refraktif dan kepadatan (densitas).
Ukuran partikel aerosol yang sangat halus berkisar antara 1 nm ( 1 nanometer = satu per satu milyar meter) (disebut partikel ultra-halus) terbentuk melalui proses-proses konversi gas-ke-partikel di atmosfir. Begitu partikel-partikel terbentuk, mereka bisa berkumpul dalam gugus-gugus (clusters) dalam ukuran yang lebih besar (antara 50-100 nm) sehingga bisa mempengaruhi secara langsung bujet radiasi. Asap (haze) dan kabut (smog) yang sering terlihat meliputi kota-kota besar diakibatkan efek radiasi aerosol ini.
Sebagai contoh, di Asia, dari pengukuran yang dilakukan lebih dari 7000 stasiun cuaca selama 5 tahun antara 1994-1998, kawasan ini didapati area yang paling berkabut udaranya akibat haze adalah di selatan pegunungan Himalaya, membentang mulai dari Pakistan utara, India, hingga Bangladesh bagian selatan. Dari pengukuran berjangka, diketahui koefisien serapan (extinction coefficient/EC) tertinggi aerosol lokal di kawasan tersebut tercatat pada bulan Desember, Januari dan Februari. Sementara yang terendah, tercatat pada bulan September, Oktober dan November. Kawasan lain yang juga memiliki intensitas kabut dan asap tinggi (hazy region) adalah Thailand utara dan Laos. EC terbesar yang tercatat adalah 0.5 km-1, yang dapat dikonversi menjadi jarak pandang(visibility) sejauh 24 km. Yang menarik, di Indonesia dan Malaysia, akibat kebakaran hutan hebat, khususnya antara September-November 1994-1998 (musim kemarau), 75% kawasannya memiliki angka EC terbesar di dunia. Enam buah stasiun cuaca mencatat EC lebih dari 1 km-1, yang jika dikonversi menjadi jarak pandang hanya sekitar 2 km saja!
Aerosol dan hujan
Untuk menggambarkan salah satu peran aerosol, yakni dalam pembentukan awan dan penentuan curah hujan, Frank Raes dalam Konferensi IGAC ke 6 di Bologna tahun 1999, menggarisbawahi bahwa: Tanpa aerosol, kita tidak akan punya awan dan tumbuh-tumbuhan (without aerosols we don’t have cloud and vegetation).
Secara ringkas, aerosol dari baik berasal dari molekul-molekul gas, maupun dari emisi permukaan bumi (gas buang industri, misalnya), dapat berubah menjadi aerosol melalui kondensasi, nukleasi dan koagulasi sehingga mengalami berbagai reaksi kimia yang berbeda-beda (baik secara homogen dengan sesamanya, maupun heterogen dengan partikel lain). Partikel terbesar hasil proses-proses tersebut adalah butiran-butiran awan yang akhirnya mempengaruhi curah hujan (presipitasi).
Emisi aerosol
Emisi aerosol dapat terbagi dua:
Emisi alami
Emisi vulkanik: berasal dari letusan gunung berapi. Misalnya pada tahun 1991, gunung Pinatubo meletus dan melepas sejumlah besar gas sulfur dioksida (SO2) ke atmosfir disamping material debu lainnya. Reaktif gas seperti SO2 ini diketahui dapat berubah menjadi H2SO4/H2O langsung melalui konversi gas ke partikel serta reaksi heterogen dengan uap air pada ketinggian tertentu.
Emisi biogenik: berasal dari tumbuh-tumbuhan berupa komponen organic tidak stabil (VOC: volatile organic compounds). Sifat emisi jenis ini sangat sulit diketahui mengingat beragamnya vegetasi, bahkan pada area yang dikatakan homogen sekalipun seperti hutan tropis (lebih dari 5000 spesies tumbuhan per 10,000 km2). Dimethyl sulfide (DMS) merupakan spesies VOC utama yang dilepaskan phytoplankton di lautan dan berperan penting dalam siklus sulfur di atmosfir.
Emisi antropogenik (akibat aktifitas manusia): gas-gas yang dilepaskan akibat penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan mengakibatkan hujan asam yang mengakibatkan fertilisasi pada vegetasi dan kerusakan pantai di berbagai belahan bumi.
Hujan asam
Tingkat perubahan, atau lebih tepat pertumbuhan partikel aerosol sangat bervariasi tergantung pada kondisi sebelumnya (berupa gas), distribusi ukuran dan konsentrasi aerosol primernya, selain proses-proses kimianya. Aerosol biogenik (terpene, isoprene) merupakan faktor-faktor pengendali terbentuknya inti kondensasi awan (CCN: Cloud Condensation Nuclei) dan butiran-butiran awan di atas kawasan hutan. Perubahan cakupan vegetasi dan lahan misalnya dari kawasan hutan menjadi pertanian, urban dan kawasan industri akan berdampak langsung pada pembentukan CCN dan akhirnya mengubah pola serta besaran presipitasi (curah hujan). Apalagi jika kawasan tersebut mengeluarkan aerosol antropogenik dari buangan industri, gas buang kendaraan, dsb. Perubahan komposisi kimiawi aerosol ini otomatis mengubah sifat kimiawi presipitasi. Jika kita bicara mengenai hujan asam, misalnya, di atmosfir, komposisi yang bersifat asam adalah sulfur oksida dan nitrogen. Asam-asam format dan asetat merupakan komponen organik asam utama yang mengubah tingkat keasaman air hujan. Sementara komponen alkali di atmosfir dapat berupa mineral yang terurai menjadi Ca2+, K+ dan gas amoniak yang reaktif.
Keasaman presipitasi ini sering digunakan sebagai besaran untuk menentukan hujan asam (pH<5,6) atau tidak. Namun sebenarnya besaran ini tidak sepenuhnya mewakili keseluruhan tingkat keasaman yang terjadi, karena deposisi gas-gas dan aerosol yang bersifat asam tidak tercermin dalam nilai pH tersebut (4th CAAP Workshop Proceedings, 1998). Pada era tahun 1940-60an, kerusakan lingkungan yang signifikan akibat hujan asam terjadi di Amerika utara dan Eropa. Fenomena ini sepenuhnya akibat terbentuknya asam dari sulfat dan nitrat yang bersumber pada aktifitas manusia. Saat ini emisi sulfat antropogenik mulai menurun di kawasan tersebut, demikian halnya dengan nitrat. Namun, di belahan dunia lainnya, semisal Cina, Afrika Selatan, Amerika tengah dan selatan, emisi gas-gas SO2, NOx and NH3 terus meningkat.
Pengaruh aerosol bagi kesehatan
Karena ukurannya yang ultra-halus, partikel aerosol berdiameter kurang dari 1 micrometer memiliki potensi besar menembus paru-paru. Sementara aerosol bermuatan mengakibatkan hujan bermuatan listrik statis. Polyaromatic hydrocarbons (PAH), salah satu jenis aerosol juga menjadi perhatian karena sifat karsinogennya (beresiko mengakibatkan kanker). Sedimen partikel yang dikenal sebagai SPM (suspended particulate matter) yang berukuran kurang dari 10 micrometer juga dapat meningkatkan jumlah penderita gangguan pernafasan dan beresiko menimbulkan penyakit paru-paru dan jantung. Dampak buruk aerosol bagi kesehatan dapat berupa gejala-gejala akut seperti asma, bronkitis, dll. disamping gejala kronis semisal iritasi saluran pernafasan atau kanker paru-paru.
Dengan semakin cepatnya pertumbuhan kota-kota, terutama di Asia, meningkatnya populasi dan pertumbuhan ekonomi telah memicu emisi aerosol yang sangat besar akibat urbanisasi, industrialisasi dan perubahan lahan. Dampak-dampak perubahan aerosol ini bagi kesehatan harus semakin dipelajari, karena pertumbuhan pesat kota-kota di kawasan Asia mengakibatkan memburuknya kondisi atmosfir karena polusi. Misalnya pada saat Indonesia mengalami kebakaran hutan hebat pada 1997, kualitas udara yang dinyatakan dalam Pollution Standard Index (PSI) melewati angka 300 di 2 negara yang paling parah terkena dampaknya: Indonesia dan Malaysia. Di Sarawak, Malaysia, PSI pernah mencapai 800 selama beberapa hari pada September 1997. Sementara di Klang Valley, kawasan dimana kota Kuala Lumpur berada, PSI mencapai 100-200 yang dinyatakan sebagai tidak sehat (New Straits Times, 19 September 1997). Lebih dari 2700 orang dewasa dan 700 anak terkena asma dan 161 dewasa dan 358 anak terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Penduduk Klang Valley sendiri hanya 3 juta, namun sekitar 16 ribu orang dilaporkan sakit akibat asap. Dilaporkan penderita asma melonjak 65%, sementara ISPA mengalami kenaikan 22%.
Di Indonesia, sekitar 20 juta penduduk di Jambi, Sumatra Selatan, Lampung dan propinsi-propinsi di Kalimantan sakit terkena dampak asap. Sementara jarak pandang hanya 100 meter dan PSI lebih dari 300. Dilaporkan 6 orang meninggal dan 40 ribu lainnya mengalami masalah pernafasan dan penyakit kulit akibat aerosol yang dilepaskan dalam musibah tersebut.
Sementara itu akibat lain dari asap yang ditimbulkan kebakaran hutan pada 1997 itu mengakibatkan kecelakaan pesawat Garuda di Sumatra Utara yang menewaskan 234 penumpangnya. Tabrakan antara sebuah super tanker dan kapal kargo milik India juga terjadi di Selat Malaka yang diliputi kabut asap, mengakibatkan 29 tewas. Jarak pandang yang rendah juga menghentikan penerbangan di Irian Jaya, sehingga mengganggu roda kehidupan di pedalaman propinsi itu, terutama pasokan makanan dan obat-obatan. Secara keseluruhan perpindahan aerosol dalam kasus kebakaran hutan ini mengakibatkan atmosfir menjadi tidak sehat di Asia Tenggara yang mempengaruhi tingkat kesehatan penduduk dan mengganggu industri pariwisata di kawasan tersebut.
Atmosfir bumi kita mengandung partikel-partikel halus yang memiliki beragam sifat, baik kimiawi maupun fisis. Partikel halus yang dikenal sebagai aerosol ini, ternyata memiliki peran yang besar dalam menentukan komposisi atmosfir yang secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada iklim global dan kehidupan manusia itu sendiri. Penelitian yang mendalam mengenai sifat-sifat aerosol, baik secara kimiawi, maupun fisis sangat diperlukan dalam rangka mengamati dan memprediksi perubahan iklim dunia.
http://www.kamusilmiah.com/
Apa itu aerosol?
Istilah aerosol digunakan untuk menyebut partikel-partikel halus yang tersebar di atmosfir Bumi dalam ukuran yang berbeda-beda, pada kisaran 0.001 micrometer hingga 1000 micrometer (1 micrometer = satu per sejuta meter). Meningkatnya jumlah aerosol yang dilepas ke atmosfir (misalnya partikel-partikel sulfat, komponen organik instabil, karbon, dsb.) akibat emisi alamiah dan antropogenik (istilah yang mengacu pada aktifitas buatan manusia), telah mengurangi intensitas radiasi matahari yang sampai ke permukaan bumi dalam ukuran 0.5 hingga 2 W/m2. Satuan radiasi itu menyiratkan bahwa pada permukaan bumi seluas 1 m2, intensitas cahaya matahari mengalami hambatan/terhalang aerosol di atmosfir sebesar 0,5 hingga 2 Watt.
Besarnya angka kisaran perkiraan para ahli itu diakibatkan oleh sangat miskinnya pengetahuan kita mengenai sifat alami pembentukan aerosol dan proses-proses yang terlibat di dalamnya. Selain itu data pengukuran yang akurat dan rinci mengenai aerosol ini sangat terbatas keberadaannya. Kompleksitas aerosol di atmosfir ini juga menjadi semakin tinggi akibat emisi gas-gas efek rumah kaca yang menyebabkan terjadi efek pemanasan global, sehingga angka ini juga mengalami berbagai kompensasi. Sifat aerosol yang sangat dinamis karena senantiasa bergerak dan berubah di atmosfir, baik secara fisis maupun kimiawi menyebabkan para ahli mengalami kesulitan dalam mengukur besaran radiasi ini padahal kemampuan untuk memprediksi perubahan cuaca akibat perubahan aerosol ini memerlukan tidak hanya pengetahuan mengenai emisinya saja, melainkan perpindahan dan reaksinya yang sangat kompleks di atmosfir.
Efek radiasi aerosol
Partikel-partikel aerosol menghamburkan (atau memantulkan) dan menyerap radiasi sinar matahari. Sifat menyerap radiasi mengakibatkan memanasnya lapisan atmosfir yang mengandung aerosol, sementara sifat menghambur radiasi (scattering) menyebabkan redistribusi (penyebaran kembali) radiasi, termasuk membaliknya radiasi matahari itu ke arah luar bumi (luar angkasa). Efek radiasi langsung aerosol tergantung pada sifat fisis yang disebut sebagaisingle scattering albedo (SSA. SSA didefinisikan sebagai perbandingan antara radiasi yang dihambur dengan yang diserap oleh partikel-partikel aerosol. Di atmosfir, partikel-partikel berukuran 0.1 – 1 micrometer merupakan partikel yang paling efektif menghambur radiasi, sehingga sangat penting peranannya dalam mengatur cuaca global. Ada 3 parameter fisis yang sangat penting dalam mengukur sifat radiatif aerosol, yakni: distribusi ukuran (size distribution), indeks refraktif dan kepadatan (densitas).
Ukuran partikel aerosol yang sangat halus berkisar antara 1 nm ( 1 nanometer = satu per satu milyar meter) (disebut partikel ultra-halus) terbentuk melalui proses-proses konversi gas-ke-partikel di atmosfir. Begitu partikel-partikel terbentuk, mereka bisa berkumpul dalam gugus-gugus (clusters) dalam ukuran yang lebih besar (antara 50-100 nm) sehingga bisa mempengaruhi secara langsung bujet radiasi. Asap (haze) dan kabut (smog) yang sering terlihat meliputi kota-kota besar diakibatkan efek radiasi aerosol ini.
Sebagai contoh, di Asia, dari pengukuran yang dilakukan lebih dari 7000 stasiun cuaca selama 5 tahun antara 1994-1998, kawasan ini didapati area yang paling berkabut udaranya akibat haze adalah di selatan pegunungan Himalaya, membentang mulai dari Pakistan utara, India, hingga Bangladesh bagian selatan. Dari pengukuran berjangka, diketahui koefisien serapan (extinction coefficient/EC) tertinggi aerosol lokal di kawasan tersebut tercatat pada bulan Desember, Januari dan Februari. Sementara yang terendah, tercatat pada bulan September, Oktober dan November. Kawasan lain yang juga memiliki intensitas kabut dan asap tinggi (hazy region) adalah Thailand utara dan Laos. EC terbesar yang tercatat adalah 0.5 km-1, yang dapat dikonversi menjadi jarak pandang(visibility) sejauh 24 km. Yang menarik, di Indonesia dan Malaysia, akibat kebakaran hutan hebat, khususnya antara September-November 1994-1998 (musim kemarau), 75% kawasannya memiliki angka EC terbesar di dunia. Enam buah stasiun cuaca mencatat EC lebih dari 1 km-1, yang jika dikonversi menjadi jarak pandang hanya sekitar 2 km saja!
Aerosol dan hujan
Untuk menggambarkan salah satu peran aerosol, yakni dalam pembentukan awan dan penentuan curah hujan, Frank Raes dalam Konferensi IGAC ke 6 di Bologna tahun 1999, menggarisbawahi bahwa: Tanpa aerosol, kita tidak akan punya awan dan tumbuh-tumbuhan (without aerosols we don’t have cloud and vegetation).
Secara ringkas, aerosol dari baik berasal dari molekul-molekul gas, maupun dari emisi permukaan bumi (gas buang industri, misalnya), dapat berubah menjadi aerosol melalui kondensasi, nukleasi dan koagulasi sehingga mengalami berbagai reaksi kimia yang berbeda-beda (baik secara homogen dengan sesamanya, maupun heterogen dengan partikel lain). Partikel terbesar hasil proses-proses tersebut adalah butiran-butiran awan yang akhirnya mempengaruhi curah hujan (presipitasi).
Emisi aerosol
Emisi aerosol dapat terbagi dua:
Emisi alami
Emisi vulkanik: berasal dari letusan gunung berapi. Misalnya pada tahun 1991, gunung Pinatubo meletus dan melepas sejumlah besar gas sulfur dioksida (SO2) ke atmosfir disamping material debu lainnya. Reaktif gas seperti SO2 ini diketahui dapat berubah menjadi H2SO4/H2O langsung melalui konversi gas ke partikel serta reaksi heterogen dengan uap air pada ketinggian tertentu.
Emisi biogenik: berasal dari tumbuh-tumbuhan berupa komponen organic tidak stabil (VOC: volatile organic compounds). Sifat emisi jenis ini sangat sulit diketahui mengingat beragamnya vegetasi, bahkan pada area yang dikatakan homogen sekalipun seperti hutan tropis (lebih dari 5000 spesies tumbuhan per 10,000 km2). Dimethyl sulfide (DMS) merupakan spesies VOC utama yang dilepaskan phytoplankton di lautan dan berperan penting dalam siklus sulfur di atmosfir.
Emisi antropogenik (akibat aktifitas manusia): gas-gas yang dilepaskan akibat penggunaan bahan bakar fosil, kebakaran hutan mengakibatkan hujan asam yang mengakibatkan fertilisasi pada vegetasi dan kerusakan pantai di berbagai belahan bumi.
Hujan asam
Tingkat perubahan, atau lebih tepat pertumbuhan partikel aerosol sangat bervariasi tergantung pada kondisi sebelumnya (berupa gas), distribusi ukuran dan konsentrasi aerosol primernya, selain proses-proses kimianya. Aerosol biogenik (terpene, isoprene) merupakan faktor-faktor pengendali terbentuknya inti kondensasi awan (CCN: Cloud Condensation Nuclei) dan butiran-butiran awan di atas kawasan hutan. Perubahan cakupan vegetasi dan lahan misalnya dari kawasan hutan menjadi pertanian, urban dan kawasan industri akan berdampak langsung pada pembentukan CCN dan akhirnya mengubah pola serta besaran presipitasi (curah hujan). Apalagi jika kawasan tersebut mengeluarkan aerosol antropogenik dari buangan industri, gas buang kendaraan, dsb. Perubahan komposisi kimiawi aerosol ini otomatis mengubah sifat kimiawi presipitasi. Jika kita bicara mengenai hujan asam, misalnya, di atmosfir, komposisi yang bersifat asam adalah sulfur oksida dan nitrogen. Asam-asam format dan asetat merupakan komponen organik asam utama yang mengubah tingkat keasaman air hujan. Sementara komponen alkali di atmosfir dapat berupa mineral yang terurai menjadi Ca2+, K+ dan gas amoniak yang reaktif.
Keasaman presipitasi ini sering digunakan sebagai besaran untuk menentukan hujan asam (pH<5,6) atau tidak. Namun sebenarnya besaran ini tidak sepenuhnya mewakili keseluruhan tingkat keasaman yang terjadi, karena deposisi gas-gas dan aerosol yang bersifat asam tidak tercermin dalam nilai pH tersebut (4th CAAP Workshop Proceedings, 1998). Pada era tahun 1940-60an, kerusakan lingkungan yang signifikan akibat hujan asam terjadi di Amerika utara dan Eropa. Fenomena ini sepenuhnya akibat terbentuknya asam dari sulfat dan nitrat yang bersumber pada aktifitas manusia. Saat ini emisi sulfat antropogenik mulai menurun di kawasan tersebut, demikian halnya dengan nitrat. Namun, di belahan dunia lainnya, semisal Cina, Afrika Selatan, Amerika tengah dan selatan, emisi gas-gas SO2, NOx and NH3 terus meningkat.
Pengaruh aerosol bagi kesehatan
Karena ukurannya yang ultra-halus, partikel aerosol berdiameter kurang dari 1 micrometer memiliki potensi besar menembus paru-paru. Sementara aerosol bermuatan mengakibatkan hujan bermuatan listrik statis. Polyaromatic hydrocarbons (PAH), salah satu jenis aerosol juga menjadi perhatian karena sifat karsinogennya (beresiko mengakibatkan kanker). Sedimen partikel yang dikenal sebagai SPM (suspended particulate matter) yang berukuran kurang dari 10 micrometer juga dapat meningkatkan jumlah penderita gangguan pernafasan dan beresiko menimbulkan penyakit paru-paru dan jantung. Dampak buruk aerosol bagi kesehatan dapat berupa gejala-gejala akut seperti asma, bronkitis, dll. disamping gejala kronis semisal iritasi saluran pernafasan atau kanker paru-paru.
Dengan semakin cepatnya pertumbuhan kota-kota, terutama di Asia, meningkatnya populasi dan pertumbuhan ekonomi telah memicu emisi aerosol yang sangat besar akibat urbanisasi, industrialisasi dan perubahan lahan. Dampak-dampak perubahan aerosol ini bagi kesehatan harus semakin dipelajari, karena pertumbuhan pesat kota-kota di kawasan Asia mengakibatkan memburuknya kondisi atmosfir karena polusi. Misalnya pada saat Indonesia mengalami kebakaran hutan hebat pada 1997, kualitas udara yang dinyatakan dalam Pollution Standard Index (PSI) melewati angka 300 di 2 negara yang paling parah terkena dampaknya: Indonesia dan Malaysia. Di Sarawak, Malaysia, PSI pernah mencapai 800 selama beberapa hari pada September 1997. Sementara di Klang Valley, kawasan dimana kota Kuala Lumpur berada, PSI mencapai 100-200 yang dinyatakan sebagai tidak sehat (New Straits Times, 19 September 1997). Lebih dari 2700 orang dewasa dan 700 anak terkena asma dan 161 dewasa dan 358 anak terkena infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Penduduk Klang Valley sendiri hanya 3 juta, namun sekitar 16 ribu orang dilaporkan sakit akibat asap. Dilaporkan penderita asma melonjak 65%, sementara ISPA mengalami kenaikan 22%.
Di Indonesia, sekitar 20 juta penduduk di Jambi, Sumatra Selatan, Lampung dan propinsi-propinsi di Kalimantan sakit terkena dampak asap. Sementara jarak pandang hanya 100 meter dan PSI lebih dari 300. Dilaporkan 6 orang meninggal dan 40 ribu lainnya mengalami masalah pernafasan dan penyakit kulit akibat aerosol yang dilepaskan dalam musibah tersebut.
Sementara itu akibat lain dari asap yang ditimbulkan kebakaran hutan pada 1997 itu mengakibatkan kecelakaan pesawat Garuda di Sumatra Utara yang menewaskan 234 penumpangnya. Tabrakan antara sebuah super tanker dan kapal kargo milik India juga terjadi di Selat Malaka yang diliputi kabut asap, mengakibatkan 29 tewas. Jarak pandang yang rendah juga menghentikan penerbangan di Irian Jaya, sehingga mengganggu roda kehidupan di pedalaman propinsi itu, terutama pasokan makanan dan obat-obatan. Secara keseluruhan perpindahan aerosol dalam kasus kebakaran hutan ini mengakibatkan atmosfir menjadi tidak sehat di Asia Tenggara yang mempengaruhi tingkat kesehatan penduduk dan mengganggu industri pariwisata di kawasan tersebut.
Atmosfir bumi kita mengandung partikel-partikel halus yang memiliki beragam sifat, baik kimiawi maupun fisis. Partikel halus yang dikenal sebagai aerosol ini, ternyata memiliki peran yang besar dalam menentukan komposisi atmosfir yang secara langsung atau tidak langsung akan berpengaruh pada iklim global dan kehidupan manusia itu sendiri. Penelitian yang mendalam mengenai sifat-sifat aerosol, baik secara kimiawi, maupun fisis sangat diperlukan dalam rangka mengamati dan memprediksi perubahan iklim dunia.
http://www.kamusilmiah.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar