Enzim adalah material yang penerapannya pada kehidupan sudah dilakukan manusia sejak peradaban dimulai. Proses fermentasi untuk membuat roti atau minuman telah dilakukan oleh bangsa Mesir sejak 6000 tahun lalu. Sementara di tanah air, masyarakat telah terbiasa makan tempe, tahu, atau kecap yang merupakan produk fermentasi mungkin sejak ratusan tahun lalu. Tanpa diketahui oleh para nenek moyang, bahwa enzim yang terdapat pada yeast dan jamur yang dipakai itulah yang mengubah gandum menjadi roti dan kedelai menjadi tempe yang lezat.
Dari pandangan sains, penelitian tentang enzim sendiri telah dimulai sejak abad ke-tujuh belas. Sampai sekarang berlalu empat abad, lebih dari 1000 jenis enzim yang berbeda telah diketahui manusia. Akan tetapi tak sampai 200 jenis saja yang telah dikarakterisasi secara detail dari segi struktur dan molekuler.
Enzim sangat spesifik terhadap substrat dan dapat menghasilkan produk utama hampir tanpa produk sampingan. Keunggulan-keunggulan ini menyebabkan enzim menjadi katalis hayati yang jauh lebih unggul daripada katalis kimiawi. Prospeknya sebagai biokatalis yang ramah lingkungan karena proses yang efisien, spesifik, dan tak menghasilkan limbah yang merepotkan sangat dinantikan oleh kalangan industri manufaktur dan masyarakat yang mencintai lingkungan.

Extremozim dari ekstremofil
Pada abad ini, salah satu penelitian yang banyak menarik perhatian dunia ilmiah sekaligus industri adalah
ditemukannya mikroba (dengan enzim di dalamnya) yang mencintai lingkungan ekstrem, yang biasa disebut ekstremofil. Mikroba ekstremofil tak hanya sekedar bisa bertahan hidup di lingkungan ekstrim, tetapi bahkan mencintai hidup di suhu titik didih air, pH yang menyebabkan logam berkarat seketika (kadar asam), kadar garam sepuluh kali lebih tinggi dari normal, dan lain-lain.
Enzim hipertermofilik, yang tahan dan suka temperatur mendekati titik didih, adalah enzim yang mendobrak logika ilmiah tentang enzim sebelumnya. Jika enzim konvensional yang berasal dari makhluk hidup moderat akan mengalami denaturasi atau rusak atau tidak aktif jika direndam dalam suhu lebih dari 50 derajat celcius, maka enzim hipertermofilik tak akan terpengaruh oleh suhu ini, bahkan jika harus direndam di air mendidih. Contohnya adalah enzim glutamat dehidrogenase dari archaea hipertermofilk Pyrococcus furiosus yang tahan disimpan pada suhu 100 derajat celcius berjam-jam, tanpa kehilangan aktivitasnya.
Enzim hipertermofilik ternyata tak hanya tahan panas, bahkan beberapa enzim tahan diinkubasi pada pelarut organik. Sehingga enzim hipertermofilik menjadi “bintang” harapan bagi industri, sebagai biokatalis, pemakan pencemar, dan sebagainya.
Pada industri pembuat pemanis misalnya, enzim amilase dan glucose isomerase hipertermofilik akan sangat membantu proses pemecahan pati (starch) menjadi oligomer lalu menjadi fruktusa atau glukosa dalam bentuk sirup. Karena proses ini semua dilakukan pada suhu sangat tinggi dan ada pula proses pengadukan, sehingga menuntut enzim yang mendegradasi pati atau mengubah gula oligomer menjadi glukosa atau fruktosa harus sangat stabil dan aktif di suhu panas.
Dalam keperluan proses kontrol produksi makanan jadi atau olahan misalnya, kadar pelezat asam dalam bentuk monosodium glutamate (MSG) sangat penting. Karena kadar MSG yang berlebihan dapat menyebabkan gejala sakit kepala yang dikenal dengan Chinese food syndrome. Karena itu enzim seperti glutamat dehidrogenase yang dapat mengkonversi asam glutamat menjadi amonia dan 2-ketoglutarat diperlukan sebagai biomolekul rekognisi yang dapat mendeteksi kadar MSG dalam bentuk biosensor. Biosensor yang berbasis glutamat dehidrogenase hipertermofilik akan dapat dipakai dalam proses kontrol makanan jadi panas untuk menjaga keseimbangan kelezatan dan kadar MSG yang di bawah ambang batas.
Pada industri kertas dan pulp, enzim xylanase yang hipertermofilik sekaligus alkalifilik (pencinta pH tinggi) dapat menggantikan klorin yang berbahaya bagi lingkungan pada proses bleaching. Proses bleaching adalah proses yang memisahkan serat kertas dari lignin yang menyebabkan kertas berwarna kusam, yang selama ini memakai pemutih kimia. Xylanase alkalifilik termofilik akan memudahkan memisahkan serat kertas dari lignin yang dilakukan pada suhu di atas 70 derajat celcius dan pH tinggi.
Selain itu, ada enzim hipertermofilik yang sangat berjasa pada proses bukti uji DNA (finger printing DNA) ataupun identifikasi penyakit genetik pada manusia. Kedua proses yang disebut ini tercapai karena adanya enzim DNA polimerase yang tahan panas. DNA polimerase memasangkan nukleotida menjadi rantai DNA dengan menggunakan cetakan atau template DNA asli yang sedikit jumlahnya, hingga menjadi molekul fragmen DNA identik yang sangat banyak jumlahnya.
Proses perbanyakan fragmen DNA ini disebut Polimerase Chain Reaction (PCR). Untuk mendapatkan produk PCR yang identik, maka reaksi harus dilakukan di suhu tinggi, karena itulah DNA polimerase tahan panas sangat dibutuhkan. Contohnya adalah enzim DNA polimerase dari bakteri termofilik Thermus aquaticus ataupun archaea hipertermofilik Pyrococcus furiosus. Tanpa penemuan DNA polimerase hipertermofilik mungkin banyak kasus kejahatan yang tidak bisa diungkap di pengadilan.
Mengapa menyukai panas?
Keberadaan enzim hipertermofilik bagi kalangan ilmiah sangatlah inspiratif. Enzim hipertermofilik dapat dijadikan model untuk mendesain enzim secara rasional. Pengetahuan yang diperoleh dari penelitian tentang mekanisme tahan panas, akan memudahkan para ilmuwan merekayasa enzim konvensional menjadi lebih tahan panas. Aplikasi yang luas tak terbatas dalam industri dan bioremediasi (eliminasi polutan) merupakan hasil yang dinantikan dari rekayasa ini.
Penelitian intensif sejak awal tahun 1990-an telah memberikan sedikit jawaban atas pertanyaan mengapa enzim hipertermofilik menyukai suhu sangat panas bahkan tahan pada suhu titik didih air. Misalnya pada contoh enzim glutamat dehidrogenase yang dijelaskan sebelumnya.
Mengapa enzim ini sangat stabil pada suhu panas? Hasil elusidasi struktur dari kristal enzim ini menunjukkan bahwa glutamat dehidrogenase tahan panas ini mempunyai struktur yang jauh lebih rigid atau kaku daripada enzim glutamat dehidrogenase pada umumnya. Kerigidan ini disebabkan struktur bagian dalam enzim ini mempunyai jaringan pasangan ion yang sangat luas dibandingkan enzim glutamat dehidrogenase yang tidak tahan panas.
Ikatan pasangan ion ini berasal dari rantai samping asam amino yang bermuatan listrik seperti asam glutamat, asam aspartat, ataupun arginin yang saling berkolerasi secara tepat. Jaringan ikatan pasangan ion inilah yang menyebabkan struktur glutamat dehidrogenase hipertermofilik bergeming direndam dalam suhu didih berjam-jam sekalipun.
Belajar dari mekanisme termostabilitas ini, para ilmuwan merekayasa enzim glutamat dehidrogenase konvensional yang berasal dari mesofil (mikroba moderat) dengan pola yang sama, yaitu menambah jumlah pasangan ion pada tempat-tempat tertentu dengan mengganti asam aminonya dengan asam amino yang bermuatan listrik dengan teknologi mutasi DNA. Hasilnya ternyata enzim konvensional inipun menjadi enzim yang lebih stabil terhadap panas dibandingkan sebelum mutasi.
Kondisi suhu tinggi bagi enzim hipertermofilik juga menjadi sesuatu yang esensial untuk berkonformasi sehingga tercapai struktur kristal enzim yang ideal agar enzim aktif dengan sempurna. Untuk menghemat biaya produksi dan memanipulasi produktivitas, biasanya gen enzim glutamat dehidrogenase dikloning kedalam bakteri E. coli yang tumbuh pada suhu moderat.
Enzim yang diproduksi olehE. coli ini disebut enzim rekombinan. Glutamat dehidrogenase rekombinan hanya akan menjadi sempurna strukturnya jika diberi perlakuan kejut panas. Struktur dan aktivitas glutamat dehidrogenase rekombinan menjadi mendekati enzim asli setelah dipanaskan dibandingkan sebelum dipanaskan. Perlakuan kejut panas ini juga mempermudah dan menurunkan biaya pemurnian enzim, karena enzim-enzim lain yang tidak diharapkan rusak jika dipanaskan, sehingga hanya tersisa enzim rekombinan saja.
Bisnis yang menggiurkan
Karakter yang menarik sekaligus aplikasi yang menjanjikan keuntungan besar membuat ekstremofil sebagai sumber ekstremozim diburu banyak investor dari perusahaan bioteknologi multinasional yang memiliki modal besar. Investasi perusahaan ini telah membawa kontroversi besar tentang siapakah yang seharusnya berhak mematenkan extremofil berikut enzimnya yang nota bene berasal dari alam.
Perusahaan Biotek USA Genencor menjual klon yang berisi gen enzim protease alkalifilik termofilik kepada P and G. seharga trilyunan rupiah. P and G menggunakan enzim rekombinan yang dihasilkan untuk deterjen pembersih dan sabun pencuci dalam proses pembuatan denim. Sumber dari gen enzim ini adalah ekstremofil yang dibawa oleh Genencor dari Danau Soda (berpH alkali) di Kenya, Afrika Selatan, sebagai hasil sampling dan eksplorasi Genencor.
Penjualan klon dari gen extremozim dari ekstremofil yang dibawa dari Kenya ini digugat oleh LSM Lingkungan Hidup Kenya. Mereka menganggap Genencor telah membawa ekstremofil secara illegal dari Kenya, menjual pada P and G tanpa memberikan kompensasi sedikit pun pada komunitas dan lingkungan tempat enzim yang dijual itu berasal, yaitu negara Kenya. Mereka menuntut kompensasi material yang sepadan dengan hasil yang didapat Genencor.
Kasus seperti Genencor sebenarnya bukan hal yang baru. Banyak kalangan mempersoalkan, ketika para perusahaan biotek multinasional bermodal besar ini mematenkan enzim sekaligus mikroba-mikroba sumbernya yang nyata-nyata berasal dari alam. Apalagi jika paten itu tidak memberikan kompensasi sedikit pun terhadap tempat atau negara mikroba tersebut berasal.
Penelitian ekstremozim di Indonesia
Harus diakui, penelitian ekstremofil dan ekstremozim di Indonesia masih sangat jauh tertinggal. Penelitian kecil-kecilan dan sporadis saat ini sedang dilakukan oleh universitas dan beberapa lembaga penelitian termasuk tempat penulis bekerja.
Secara skala global, pasar enzim dunia adalah pasar yang sangat berprospek cerah. Pasar enzim dunia pada tahun 2004 diperkirakan sekitar dua milyar USD (20 trilyun rupiah) dan diprediksikan pasar akan terus naik rata-rata 3.3 persen pertahun dengan kuantitas enzim yang bertambah dibarengi harga yang semakin murah. Kebutuhan akan enzim di dalam negeri bukannya tidak ada, malah kita pun termasuk konsumen yang sangat tergantung pada enzim impor. Memakai enzim impor bagi banyak perusahaan memang jauh lebih murah dibandingkan membeli produk enzim domestik yang hanya bisa diproduksi secara skala kecil karena hambatan modal.
Walaupun mungkin tak bisa langsung menjawab kegundahan penulis sebagai peneliti akan ketergantungan bangsa terhadap enzim impor, nampaknya perhatian pemerintah dan swasta terhadap pengembangan teknologi produksi enzim dan keseriusan para peneliti untuk menghasilkan enzim yang aplikatif dan feasibel untuk industri dapat menjadi langkah pembuka ikatan ketergantungan tersebut.
Penelitian mendalam tentang extremozim sekaligus komersialisasinya yang berasal dari ekosistem asli Indonesia oleh orang Indonesia dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia mudah-mudahan bukanlah sesuatu impian.

http://www.kamusilmiah.com/biologi/extremozim-biomaterial-menarik-dan-menggiurkan/