Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 April 2011

Engkle: Permainan Anak yang Berasal Dari Pemujaan Setan di Zaman Babilonia Kuno

Anda tahu permainan anak di Betawi yang gambarnya susunan kotak-kotak dengan puncaknya berbentuk setengah lingkaran? Ya yang itu. Permainan ini biasanya dimainkan oleh anak perempuan, namun kadang juga ada anak laki-laki. Adapun gambar yang dibentuk di atas tanah biasanya dengan berbentuk persegi empat (yang dinamakan rumah) dengan formasi 8 ditambah gunungan di bagian ujung.

Dinamakan engkle, karena permainan ini setiap pemain tidak harus melakukan engkle atau berjingkat (hopscotch) dengan satu kaki untuk melewati 7 bagian rumah dan mencapai puncaknya pada tangga ke 8 di atas lingkaran gunung.

Namun apakah anda tahu Engkle sebenarnya berasal dari pemujaan setan di peradaban Kuno lalu berkembang di Eropa Barat dengan istilah Sudamanda.

Annemari Schimel, pengkaji peradaban kuno, dalam buku terkenalnya Mysteries of Numbers (Oxford: 1994), menyatakan Sudamanda adalah permainan paganis dan mistik yang lahir dari peradaban Babilonia kuno, ketika Dewi Ishtar mengunjungi dunia rendah, dia harus menanggalakn sepotong pakaiannnya di tiap 7 pintu yang dilalui.

Dalam misteri-misteri Mithras, orang-orang yang benar-benar ahli akhirnya mencapai pintu ke 8 yang merupakan pintu cahaya dimana mereka harus telanjang, menanggalkan seluruh sifat materi, dan siap kembali ke dunia spiritual.

Tujuh tingkat ini pula lah yang menjadi inisiasi dasar konsep Kristen tentang 7 tempat penyucian dimana ia berasal dari pemujaan kepercayaan Mithras dan ide-ide kuno tentang pendakian manusia menuju langit-langit berbintang.

Konsep serupa juga ditemukan dalam pemujaan-pemujaan dukun di Siberia ketika sang dukun sering muncil dengan memiliki 7 irisan, dan dukun Samoyed tidak sadarkan diri selama 7 hari 7 malam sebelum dia mengemban tugasnya. Ia juga makan jamur berbintik 7 dan melakukan ritus-ritus yang berisikan angka 7.

Sebuah permainan anak seperti Sudamanda, lanjut Schimmel, datang ke Jerman dan Inggris melalui bala tentara romawi. Dalam permainan ini, seorang anak melompat melewati gambar seperti tanggah di atas tanah, dan tangga terakhir di kotak kedelapan disebut surga atau neraka.

Siapakah Dewi Ishtar?

Ishtar dalam konteks babilonia kuno adalah dewi kesuburan, cinta, perang, dan hubungan seksual. Dalam susunan masyarakat dewa Babilonia, ia adalah dewi perwujudan planet Venus. Penyembahan kepada Ishtar erat kaitannya dengan kesuburan. Selain kesuburan dalam konteks seksual, juga kesuburan dalam konteks bercocok tanam.

Ketika lamanya siang dan lamanya malam dalam 1 hari mulai sama, penduduk Mesopotamia memahami bahwa ini adalah tanda berakhirnya musim dingin dan awal musim panas. Musim ini disebut dengan musim semi. Ini merupakan tanda dimulainya waktu untuk bertani.

Adalah suatu tradisi dalam masyarakat paganisme di daerah Mesopotamia untuk menyembah menghadap ke timur, tempat matahari terbit, untuk penyembahan kepada dewa matahari, yaitu Baal dan juga menyembah kepada Ishtar untuk kesuburan tanah dan juga untuk kesuburan dalam praktek-praktek seksual. Penyembahan kepada Ishtar ini juga erat kaitannya dengan orgi.

Bagi peradaban kuno, bumi digambarkan betina sedangkan matahari adalah pejantannya. Dan Ishtar adalah perlambang dewi Bumi yang tertinggi kedudukannya. Di seluruh Asia Barat, Bunda yang agung dipuja dengan berbagai nama. Bahkan ketika bangsa Yunani menduduki Asia Kecil ada suatu ciri kuil tertentu untuk memuliakannya.

Bertrand Russel, dalam bukunya A History of Western Philosophy (Sejarah Filsafat Barat) (1945), menyatakan bahwa model dewi kesuburuan seperti Ishtar menyebar hampir di seluruh peradaban. Jika kita membaca sejarah Agama Kuno, inilah sebenarnya asal mula suatu dewi bangsa Ephesus yang biasa disebut Diana.

Kita juga mengenal Dewi Anat di Kanaan, lalu ada Isis di Mesir, Inana di Sumeria Kuno, Aphrodite di belahan Yunani, Devaki di India, Fortuna di Romawi, atau Shing Moo di China. Dari sini kemudian, mereka melakukan berbagai ritus-ritus penyembahan, termasuk Sudamanda yang masuk ke Indonesia dan dimainkan oleh anak-anak kita dengan istilah engkle.

Mengapa Islam Tidak Memainkan Sudamanda?

Jika mempelajari sejarah kuno, kita akan mendapatkan fakta bahwa peradaban-peradaban masa lampau pada umumnya selalu menafsirkan konteks alam gaib atau Tuhan dalam sudut kompleks.

Mereka kemudian membutuhkan sebuah bentuk untuk setidaknya menyederhanakan rumitnya alam gaib agar sedemikian rupa bisa mereka terima dengan nalar yang tentunya juga sederhana pada waktu itu.

Sudamanda adalah bagian dari bagaimana konteks alam gaib yang kompleks itu dapat disederhanakan lalu dilaksanakan. Dengan mengambil bentuk gambar, manusia akan lebih mudah menjalankan ritual dan praktik mereka dalam menyembah dewa-dewi paganis.

Tentu ini berbeda dalam agama kita, Islam. Sebab Allah dalam agama mulia ini, tidak perlu kita simbolkan menjadi sebuah berhala agar semua Umat Nabi Muhammad SAW percaya akan keesaan Allah.

Nabi Muhammad SAW, lelaki yang jenius itu, telah secara cerdasnya mengajak kita semua ke jalan tauhid dengan melakukan pembedaan atas Tuhan-tuhan palsu yang dibuat oleh Kaum Kafir Quraisy dalam bentuk berhala.

Oleh karenanya, alangkah wajar jika sisi Keislaman yang pertama-tama diperkenalkan oleh baginda kepada umatnya adalah Tauhid: sebuah pembedaan untuk melakukan identifikasi atas sesembahan lainnya. Inilah yang akan kita mengerti mengapa saat Nabi Muhammad SAW melakukan revolusi pembebasan Mekkah ia juga menghancurkan patung-patung.

Allah SWT sekalipun tidak terlihat oleh manusia secara wujud, tidak menjadikan hambaNya mengambil bentuk gambaran visual keberhalaan seperti kaum kafir Quraisy dengan bebatuannya. Dasar keimanan seorang muslim terhadap hal ghoib menjadikan Islam menampik ritus-ritus yang manusia buat-buat sendiri sendiri seperti kepercayaan Mithras dengan Sudamanda-nya.

Islam juga tidak mengenal Tuhan yang menurunkan rezeki jika pemeluknya membuatkan patung-patung dan memintakan kesuburan. Lihatlah surah Al Huud ayat enam, sebuah kalimat yang meruntuhkan klaim itu.

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya dan dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (QS. Huud : 6)

Allah juga menekankan sekalipun Ia tidak terlihat secara fisik, namun Ia Maha Mengetahui sebagai pemilik semesta alam semesta ini apa-apa saja yang terjadi di muka bumi. Di dalam surat Al-An'am ayat 59, Allah telah berfirman,

" Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)."

Inilah jawaban mengapa Islam tidak memainkan Sudamanda seperti bangsa Eropa dan Babilonia kuno. Allahua’lam (pz) 
 
www.eramuslim.com

Minggu, 03 April 2011

Hal-Hal yang Tidak Termasuk Ikhtilat

Oleh
Abu Isma'il Muslim Al-Atsari


Sebelum kami sebutkan perkara-perkara ini, yang hukumnya boleh (mubah), maka perlu diketahui bahwa sesuatu yang boleh/mubah itu tidak harus dikerjakan, juga bukan berarti mustahab (disukai/lebih utama) untuk dikerjakan. Tetapi sekedar boleh untuk dilakukan. Walaupun demikian, jika menimbulkan kerusakan, atau fitnah, atau kemaksiatan, maka haruslah ditinggalkan, karena Allah tidak menyukai kerusakan. Dan sebagaimana sebuah kaidah Ushul Fiqih yang berbunyi:

دَرْأُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَي جَلْبِ الْمَنَافِعِ

"Menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada mengambil kebaikan/manfaat".

Maka inilah perkara-perkara tersebut:
1. Wanita mendatangi seorang alim untuk minta fatwa.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنْتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا إِنَّمَا ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ فَإِذَا أَقْبَلَتْ حَيْضَتُكِ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْسِلِي عَنْكِ الدَّمَ ثُمَّ صَلِّي قَالَ وَقَالَ أَبِي ثُمَّ تَوَضَّئِي لِكُلِّ صَلَاةٍ حَتَّى يَجِيءَ ذَلِكَ الْوَقْتُ *

"Dari A’isyah dia berkata: “Fathimah binti Abu Hubais datang kepada Nabi n lalu berkata: “Saya mengeluarkan darah istihadlah, sehingga saya tidak suci, haruskah aku meninggalkan sholat?” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: “Tidak, itu hanyalah urat/pembuluh darah (yang luka-Red), bukan haid, jika masa haidmu datang maka tinggalkanlah sholat, jika telah usai maka bersihkanlah darah dari badanmu lalu sholatlah” (Seorang perawi berkata) Bapakku berkata (tambahan di dalam riwayatnya tentang sabda Rasulullah itu): “Berwudlu’lah tiap-tiap sholat ketika telah masuk waktunya”. [Al-Bukhari]

2. Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan.

أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى

"Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab: “Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha" [HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]

3. Wanita shalat bermakmum kepada laki-laki dengan shaf tersendiri.
Syaikh DR. Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Aba Buthain berkata: “Dan tidaklah larangan ikhthilath itu terbatas antara banyak orang-orang laki-laki dan para wanita saja, namun juga mencakup seorang wanita apabila shalat bersama para laki-laki. (Yaitu jika satu wanita berbaris satu shaf dengan para laki-laki itu termasuk ikhthilath-pen).

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ قَالَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَيْتِ أُمِّ سُلَيْمٍ فَقُمْتُ وَيَتِيمٌ خَلْفَهُ وَأُمُّ سُلَيْمٍ خَلْفَنَا

"Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang yatim berdiri di belakang beliau, sedangkan Ummu Sulaim di belakang kami". [HR. Bukhari, no:871, 860]

Sesungguhnya para wanita di (zaman) permulaan Islam bersungguh-sungguh untuk tidak berdesakan dan berikhtilath dengan orang-orang laki-laki, walaupun ditempat thawaf. [Al-Mar’ah Al-Muslimah Al-Mu’ashirah, hal:415, Dar ‘Alamil Kutub, cet:III, th:1413 H/1993 M]

Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, dan lainnya, dengan sanad-sanad mereka dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا

"Sebaik-baik shaf (barisan dalam shalat) laki-laki adalah shaf yang pertama, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang terakhir. Dan sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir, dan shaf yang paling buruk adalah shaf yang pertama". [Tirmidzi berkata setelah meriwayatkan hadits ini: “Hadits Hasan Shahih].

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syeikh rahimahullah berkata : "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mensyari’atkan bagi para wanita jika datang ke masjid untuk memisahkan sendiri dari jama’ah (laki-laki)".

Maka kenyataan adanya para wanita di zaman Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shalat bersama beliau di masjid, menunjukkan bahwa hal itu bukanlah ikhthilath.

4. Penganten wanita yang melayani para tamu laki-laki, dengan dua syarat: aman dari fitnah dan berpakaian secara Islam.
Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: "Tidak mengapa penganten wanita melayani sendiri para (tamu) undangan, apabila dia tertutup (dengan baju yang disyari’atkan-pen) dan aman dari fitnah (perkara yang dapat mendatangkan kemaksiatan/kesesatan), berdasarkan hadits Sahl bin Sa’d, dia berkata:

لَمَّا عَرَّسَ أَبُو أُسَيْدٍ السَّاعِدِيُّ دَعَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابَهُ فَمَا صَنَعَ لَهُمْ طَعَامًا وَلاَ قَرَّبَهُ إِلَيْهِمْ إِلاَّ امْرَأَتُهُ أُمُّ أُسَيْدٍ بَلَّتْ (وفي رواية: أنقعت) تَمَرَاتٍ فِي تَوْرٍ مِنْ حِجَارَةٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلَمَّا فَرَغَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الطَّعَامِ أَمَاثَتْهُ لَهُ فَسَقَتْهُ تُتْحِفُهُ بِذَلِكَ (فَكَانَتْ امْرَأَتُهُ يَوْمَئِذٍ خَادِمُهُمْ وَهِيَ الْعَرُوْسُ)

"Tatkala Abu Usaid As-Sa’idi telah menikah, dia mengundang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau, dia tidak membuat makanan untuk mereka, dan tidak menghidangkan makanan kepada mereka. Akan tetapi istrinya, Ummu Usaid, semenjak malam merendam kurma di dalam bejana dari batu. Maka ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah selesai makan, Ummu Usaid melarutkannya untuk beliau, lalu memberikan minum kepada beliau dengannya, dia mengkhususkan beliau dengan (minuman) itu. (Maka pada hari itu istrinya yang menjadi pelayan mereka, padahal dia sebagai penganten wanita". [1].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: "Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya seorang istri melayani suaminya dan orang yang dia undang, tentu saja hal itu adalah jika aman dari fitnah dan dengan menjaga penutup (tubuh) yang wajib atas wanita. Dan dalil bolehnya seorang suami melayani istrinya dalam hal seperti itu.." [Fathul Bari:IX/251]

5. Dua laki-laki shalih atau lebih menemui seorang wanita, karena keperluan.

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِي هَاشِمٍ دَخَلُوا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَهِيَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ لَمْ أَرَ إِلَّا خَيْرًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ لَا يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِي هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلَّا وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ

"Dari Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu 'anhu bahwa orang-orang dari Bani Hasyim menemui Asma’ binti ‘Umais, kemudian Abu Bakar Ash-Shiddiq masuk –waktu itu Asma’ adalah istri Abu Bakar-, lalu Abu Bakar melihat mereka, maka dia tidak menyukainya. Kemudian dia menyebutkan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sambil berkata: “Aku tidak melihat kecuali kebaikan”. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Setelah hariku ini, janganlah sama sekali seorang laki-laki menemui seorang wanita yang ditingal pergi suaminya kecuali bersamanya ada seorang laki-laki lain atau dua laki-laki". [HSR. Muslim, no:5641]

An-Nawawi rahimahullah berkata di dalam penjelasan hadits ini: “Kemudian bahwa zhahir hadits ini membolehkan menyendirinya dua atau tiga laki-laki dengan seorang wanita asing/bukan mahramnya. Tetapi yang terkenal di kalangan para sahabat kami (yakni madzhab Syafi’iyah-pen) adalah haramnya hal tersebut, kemudian hadits itu diberi arti (untuk) sekelompok orang yang tidak mungkin bersepakat berbuat keji, karena keshalihan atau keperwiraan mereka, atau lainnya. Dan Al-Qadhi telah mengisyaratkan pemberian arti seperti ini.

Syaikh Musthafa Al-‘Adawi memasukkan dua hadits di atas di dalam masalah “Masuknya dua atau tiga laki-laki kepada seorang wanita”. Dan pada catatan kaki beliau berkata: “Jika seorang laki-laki masuk/menemui sekelompok wanita, sedangkan mereka memakai hijab (menutupi seluruh tubuhnya termasuk wajah, karena Syaikh berpendapat wajah wanita harus ditutup-pen) dan jauh kemungkinan bersepakat untuk berbuat keji, dan aman dari fitnah, maka hal itu boleh. Wallahu A’lam”. [Jami’ Ahkamun Nisa’ IV/293]

6. Seorang laki-laki berdiri bersama seorang wanita di jalan yang dilewati orang, untuk memenuhi keperluan wanita tersebut.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ امْرَأَةً كَانَ فِي عَقْلِهَا شَيْءٌ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي إِلَيْكَ حَاجَةً فَقَالَ يَا أُمَّ فُلَانٍ انْظُرِي أَيَّ السِّكَكِ شِئْتِ حَتَّى أَقْضِيَ لَكِ حَاجَتَكِ فَخَلَا مَعَهَا فِي بَعْضِ الطُّرُقِ حَتَّى فَرَغَتْ مِنْ حَاجَتِهَا

"Dari Anas, bahwa seorang wanita yang akalnya tidak begitu beres berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan kepadamu”. Maka beliau menjawab: “Hai Ummu Fulan, lihatlah jalan mana yang engkau sukai, sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu”. Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan sehingga wanita itu menyelesaikan keperluannya". [HSR. Muslim, Al-Bukhari secara ringkas, dan Abu Dawud]

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Perkataan “Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan” yaitu berdiri bersamanya di jalan yang dilewati oleh orang, agar beliau dapat memenuhi keperluannya dan memberikan fatwa kepadanya dalam keadaan sendirian/sepi. Dan hal itu tidak termasuk khalwat (menyendiri) dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal ini terjadi di tempat lewatnya orang-orang dan mereka dapat melihat beliau dan wanita tersebut, tetapi mereka tidak mendengar perkataan wanita itu, karena pertanyaan wanita itu, tidak dinampakkan dengan terang oleh beliau, wallahu a’lam”. [Syarh Muslim V/180]

Imam An-Nawawi juga berkata: “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang tawadhu’ beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu dengan berdirinya beliau dengan seorang wanita yang lemah. Inilah, dan Imam Al-Bukhari telah memasukkan hadits ini ke dalam bab: Khalwat seorang laki-laki dan wanita yang dibolehkan di hadapan orang-orang”.

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata menjelaskan bab ini: “Yaitu, laki-laki itu tidak menyendiri dengan wanita itu sampi tubuh keduanya tertutup dari (pandangan) mereka, tetapi sekedar mereka tidak mendengar perkataan keduanya, jika hal itu termasuk yang disembunyikan oleh wanita itu, seperti sesuatu yang seorang wanita malu untuk menyebutkannya di antara orang banyak. Dan penyusun (yaitu Imam Al-Bukhari) mengambil perkataan “di hadapan orang-orang” di dalam bab itu dari perkataan pada sebagian jalan-jalan hadits (yaitu): “Maka beliau berkhalwat (menyendiri) bersamanya di sebagian jalan”, yaitu di jalan yang dilewati, yang pada umumnya tidak sepi dari lewatnya orang-orang.” Kemudian Ibnu Hajar juga berkata: “Dalam hadits ini juga terdapat dalil bahwa perundingan seorang wanita asing (dengan seorang laki-laki-pen) secara pelan-pelan tidaklah merusakkan agamanya di saat aman dari fitnah. Akan tetapi urusannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha : “Siapakah di antara kamu yang dapat menguasai syahwatnya sebagaimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menguasai syahwatnya”.

7. Wanita mengucapkan salam kepada laki-laki.
Dalilnya hadits Ummu Hani’ yang telah disebutkan di atas, yaitu pada point ke (2). Wanita mendatangi laki-laki karena suatu keperluan.

أَنَّ أَبَا مُرَّةَ مَوْلَى أُمِّ هَانِئٍ بِنْتِ أَبِي طَالِبٍ أَخْبَرَهُ أَنَّهُ سَمِعَ أُمَّ هَانِئٍ بِنْتَ أَبِي طَالِبٍ تَقُولُ ذَهَبْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْفَتْحِ فَوَجَدْتُهُ يَغْتَسِلُ وَفَاطِمَةُ ابْنَتُهُ تَسْتُرُهُ بِثَوْبٍ قَالَتْ فَسَلَّمْتُ فَقَالَ مَنْ هَذِهِ قُلْتُ أُمُّ هَانِئٍ بِنْتُ أَبِي طَالِبٍ قَالَ مَرْحَبًا بِأُمِّ هَانِئٍ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْ غُسْلِهِ قَامَ فَصَلَّى ثَمَانِيَ رَكَعَاتٍ مُلْتَحِفًا فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ فَلَمَّا انْصَرَفَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ ابْنُ أُمِّي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ أَنَّهُ قَاتِلٌ رَجُلًا أَجَرْتُهُ فُلَانُ ابْنُ هُبَيْرَةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجَرْنَا مَنْ أَجَرْتِ يَا أُمَّ هَانِئٍ قَالَتْ أُمُّ هَانِئٍ وَذَلِكَ ضُحًى

"Abu Murrah maula (bekas budak) Ummu Hani’ binti Abu Thalib menceritakan bahwasanya ia mendengar Ummu Hani’ binti Abu Thalib berkata: “Saya pergi menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada tahun Fathu Makkah, saya dapati beliau sedang mandi dan Fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam”. Rasul menjawab: “Siapakah ini?”. Saya menjawab: “Ummu Hani’ binti Abu Thalib!” Beliau berkata: “Selamat datang Ummu Hani’”. Ketika selesai mandi, beliau berdiri sholat delapan reka’at berselimutkan satu kain. Dan ketika telah selesai sholat, aku berkata: “Wahai Rasulullah, saudara-ku, Ali bin Abu Thalib, ingin membunuh orang yang telah aku lindungi, yaitu Fulan bin Hubairah”. Rasulullah bersabda: “Kami melindungi orang yang engkau lindungi wahai Ummu Hani’” Ummu Hani berkata: “Hal itu waktu dhuha" [HSR. Muslim, Ahmad, dan An-Nasa-i]

8.Laki-laki mengucapkan salam kepada wanita.

عَنْ سَهْلٍ قَالَ:… فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا فَتُقَدِّمُهُ إِلَيْنَا

Dari Sahl, dia berkata: "…Maka jika kami telah shalat jum’ah, kami pulang (dan mampir ke rumah seorang wanita tua) dan kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian dia menghidangkan makanan kepada kami." [HSR. Al-Bukhari dan lainnya]

TAMBAHAN
Inilah sebagian di antara perkara-perkara yang tidak termasuk ikhthilath yang terlarang hukumnya.

Dengan keterangan ini, maka definisi ikhthilath di dalam kitab Mas-uliyah Mar’atil Muslimah (hal:22) karya Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah rahimahullah, yaitu bahwa ikhthilath adalah: “Berkumpulnya seorang laki-laki dengan seorang wanita yang bukan mahramnya, atau: berkumpulnya banyak orang laki-laki dengan banyak orang wanita yang mereka itu bukan mahram, di satu tempat, yang memungkinkan padanya untuk berhubungan di antara mereka, dengan cara memandang, berisyarat, dan berbicara, sehingga menyepinya seorang laki-laki dengan seorang wanita asing -yang bukan mahramnya- dalam keadaan bagaimanapun juga dianggap termasuk ikhthilath” belum bisa diterima. Karena kalau yang dimaksud ikhthilath adalah demikian, tentulah perkara-perkara di atas tadi termasuk ikhthilath yang terlarang!

Tetapi hal ini, bukan berarti laki-laki boleh memandang wanita yang bukan mahramnya –atau sebaliknya- tanpa adanya keperluan yang diidzinkan syari’at. Karena larangan tentang memandang ini jelas dari Al-Kitab dab As-Sunnah, sebagaimana sebagiannya telah berlalu di atas.

Inilah sedikit yang kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Amin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun V/1422/2001M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-7574821]
________
Footnote
[1]. HSR. Al-Bukhari di dalam Shahihnya, dan di dalam Al-Adabul Mufrad; Muslim; Abu ‘Awanah; Ibnu Majah; dan lainnya –kami ringkaskan takhrijnya-pen] (Adabuz Zifaf Fis Sunnah Al-Muthahharah, hal:103-106, Maktab Al-Islami, 1409 H- 1989 M

http://almanhaj.or.id/ 

Hukum Wanita Muslim Berobat pada Dokter Laki-laki


Beberapa pertanyaan menghampiri meja Redaksi, yaitu menyangkut problem yang dihadapi wanita muslimah saat harus berobat atau memeriksakan kesehatan kepada dokter lelaki. Ini menjadi ganjalan bagi kaum hawa. Apabila tidak ada dokter wanita, atau jika sulit mendapatkan dokter wanita, lantas bagaimanakah hukumnya? Apalagi jika menyangkut hal-hal yang sangat pribadi, seperti partus (persalinan), atau keluhan lain yang memaksa wanita membuka auratnya.

Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`ân dan as-Sunnah telah menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam syariat Islam.
Pembahasan masalah di atas akan diulas melalui beberapa sub judul, dengan bercermin pada fatwa-fatwa ulama kontemporer. Silahkan menyimak.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP IKHTILAT
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab persoalan di atas. Yakni untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan yang mengarah dosa dan kekejian.

Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara sesama manusia, yang rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi keselamatan bagi manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam masalah mu'amalah (pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan antara pria dan wanita telah diatur dengan batasan-batasan, untuk membentengi gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan. Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat (campur baur antara pria dan wanita).

Dalam hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memperingatkan kaum lelaki untuk lebih berhati-hati dalam masalah wanita.

إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ

"Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang sahabat dari Anshar bertanya,"Bagaimana pendapat engkau tentang saudara ipar, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,"Saudara ipar adalah maut (petaka).” [HR Bukhari dan Muslim].

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya ikhtilat ini dengan pernyataannya: “Ikhtilat yang terjadi di antara lelaki dan wanita menjadi penyebab banyaknya perbuatan keji dan zina”.[1] Maka, sungguh kehatian-hatian Islam dalam banyak hal, ialah demi kemaslahatan kehidupan manusia itu sendiri.

PERINTAH MENJAGA AURAT DAN MENAHAN PANDANGAN
Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan diri dan agamanya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita . . ." [an-Nûr/24: 30-31].

Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis, akan tetapi Islam pun menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis, baik antara lelaki dengan lelaki lainnya, maupun antara sesama wanita.

Disebutkan dalam sebuah hadits:

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

"Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki melihat kepada aurat lelaki (yang lain), dan janganlah seorang wanita melihat kepada aurat wanita (yang lain)". [HR Muslim]

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, di antara kandungan hadits ini, yaitu larangan bagi seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya) dan wanita melihat aurat wanita (lainnya). Di kalangan ulama, larangan ini tidak diperselisihkan. Sedangkan lelaki melihat aurat wanita, atau sebaliknya wanita melihat aurat lelaki, maka berdasarkan Ijma', perbuatan seperti ini merupakan perkara yang diharamkan. Rasulullah mengarahkan dengan penyebutan larangan seorang lelaki melihat aurat lelaki lainnya, yang berarti lelaki yang melihat aurat wanita maka lebih tidak dibolehkan.[2]

Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan buruk, yang disebabkan karena terjalinnya hubungan bebas antara lelaki perempuan, sehingga Islam benar-benar menutup akses ke arah sana. Yaitu dengan mengharamkan terjadinya persentuhan antara kulit lelaki dan perempuan. Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:

لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ

"Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi, (itu) lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya". [3]

Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang telah ditetapkan Islam. Tujuannya, ialah demi kebaikan yang sebesar-besarnya.

IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER WANITA
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus melakukan pembedahan.

Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bâz rahimahullah mengatakan: “Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua orang”.[4]

Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan maka ia boleh melakukannya.[5]

Bagaimana tidak? Karena seorang muslimah harus menjaga kehormatannya, sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah wanita, menghindarkan diri dari tangan pria yang bukan makhramnya, menjauhkan diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya, maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik, melainkan jika seorang wanita berobat atau memeriksakan dirinya kepada dokter atau ahli medis wanita. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan secara maksimal.

BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER WANITA?
Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokter umum maupun spesialis dari kalangan kaum hawa. Keadaan ini, sedikit banyak tentu menimbulkan pengaruh yang cukup membuat risih kaum wanita, bila mereka mesti berhadapan dengan lawan jenis untuk berobat. Sehingga banyak diantara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada dokter pria.

Syaikh Bin Bâz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya, benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu. Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan dokter lelaki.[6]

Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa dan raganya. Seorang muslimah yang keadaannya benar-benar dalam kondisi terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki, baik karena tidak ada ada seorang dokter muslimah yang mengetahui penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.

Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'âm/6 ayat 119:

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)".

Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar. Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau ruang periksa.

Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bâz rahimahullah untuk pengobatan pada bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita –umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat) tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari kecurigaan.[7]

Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:
“Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter wanita yang setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit (itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini, perkara yang harus diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi bagaimanapun, seorang muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai oleh salah satu mahramnya".[8]

Ketika Lajnah Dâ-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang syarat-syarat yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk menangani pasien perempuan, maka Lajnah Dâ-imah mengeluarkan fatwa yang berbunyi: “(Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita muslimah yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut seorang muslim lagi bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi oleh mahramnya”.[9]

Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih al-‘Utsaimin. Hanya saja, untuk menangani wanita muslimah, beliau rahimahullah lebih memilih seorang dokter wanita beragama Nashrani yang dapat dipercaya, daripada memilih seorang dokter lelaki muslim. Kata beliau: “Menyingkap aurat lelaki kepada wanita, atau aurat wanita kepada pria ketika dibutuhkan tidak masalah, selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari fitnah, dan tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang beragama Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker muslim meskipun lelaki, karena aspek persamaan”.[10]

Penjelasan tambahan Syaikh al-‘Utsaimin di atas, juga dipilih oleh para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah. Dalam fatwanya yang bernomor 16748, Lajnah Dâ-imah memfatwakan, wanitalah yang menangani (pasien) wanita, baik ia seorang muslimah maupun bukan. Seorang lelaki yang bukan mahram, tidak boleh menangani wanita, kecuali dalam kondisi darurat. Yaitu bila memang tidak ditemukan dokter wanita.[11]

Begitu pula bagi wanita yang menghadapi persalinan.

Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum wanita memasuki rumah sakit untuk menjalani persalinan, sedangkan dokter-dokter di rumah sakit tersebut seluruhnya laki-laki. Lajnah Dâ-imah memberi jawaban: "Dokter laki-laki tidak boleh menangani persalinan wanita, kecuali dalam kondisi darurat, seperti mengkhawatirkan kondisi wanita (ibu bayi), sementara itu tidak ada dokter wanita yang mampu mengambil alih pekerjaan itu”.[12]

KESIMPULAN
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli, maka dialah yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien wantia. Bila tidak ada, dokter wanita non-muslim yang dipilih. Jika masih belum ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila keberadaan dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang menangani.

Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang melakukan pemeriksaan hanya boleh melihat tubuh pasien wanita itu sesuai dengan kebutuhannya saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani pasien wanita, maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau suaminya, atau wanita yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.

Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain yang menyertai dokter lelaki kecuali yang memang diperlukan perannya. Selanjutnya, para dokter lelaki itu harus menjaga kerahasiaan si pasien wanita.[13]

Bertolak dari keterangan di atas, bagaimanapun keadaannya, sangat diperlukan kejujuran kaum wanita dan keluarganya tentang masalah ini. Hendaklah terlebih dulu beriktikad untuk mencari dokter wanita. Tidak membuat bermacam alasan dikarenakan malas untuk berusaha. Semua harus dilandasi dengan takwa dan rasa takut kepada Allah, kemudian berusaha untuk mewujudkan tujuan-tujuan mulia di atas. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla , niscaya Allah Azza wa Jalla menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.
Wallahu a'lam bish-shawâb.

Maraji`:
1. Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, Pengantar Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh, Darul-Muayyad, Cetakan I, Tahun 1424 H.
2. Fatâwa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
3. Fatâwa, Syaikh Shalih al-Fauzan.
4. Fatâwa wa Maqalat, Syaikh Bin Baz.
5. Fiqhun-Nawazil, Dr. Muhammad bin Hasan al-Jizani, Darul-Ibnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun 1426-2005.
6. Majalah Mujamma`, Juz 3.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat ath-Thuruq Hukmiyah, hlm. 407.
[2]. Syarhu Shahîh Muslim.
[3]. Hadits shahîh diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Lihat ash-Shahîhah (226), Shahîhul-Jami' (5045).
[4]. Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230.
[5]. Fatâwa Lajnah Dâ-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha.
[6]. Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha 228-229
[7]. Ibid.
[8]. Lihat Fatâwa, Syaikh Shalih al-Fauzan, Jilid 5.
[9]. Fatâwa Lajnah Dâ-imah no. 3507. Dinukil dari al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 242.
[10]. Lihat Fatâwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.
[11]. Lihat al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha. Dinukil dari halaman 244.
[12]. Fatâwa Lajnah Dâ-imah, no. 17000. Dinukil dari al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil- Mardha, hlm. 245.
[13]. Diambil dari 3/196-197. Merupakan ketetapan Majma Fiqh Islami, no 85/12/85 yang bermuktamar pada tanggal 1-7 Muharram 1414 H. Ketetapan ini dikukuhkan lagi pada muktamar tanggal 20 Sya’ban 1415 H.

http://almanhaj.or.id/ 

Selasa, 15 Maret 2011

Breaking myth about Muslim women’s education

By Sahibzada Hussain Mohi-ud-Din Qadri

Islam enjoins upon its followers both men and women to dedicate themselves fully to learning knowledge. There is an ingrained value in every Muslim, man and woman alike to pursue knowledge and to learn about God's Truth. Prophet Mohammad (P.B.U.H) advised his followers to seek knowledge from every nook and corner of the world. In keeping with this value, Muslim women are continuing to make headway in the field of science and their participation in terms of graduation ratios often surpasses that of western women in pursuing scientific degrees according to UNESCO.

Contrarily, the western media is never tired of churning out stereotypes and outdated clichés about the Muslim women. Their favourite propaganda line is that it is because of discrimination ordered by the Islam that the Muslim women lag behind in the field of education. The western mind gets swayed in favour of this kind of reasoning when it is repeated over and over, while the fact is that truth is other way round. The Islamic message, which stresses gender equity and rights for women, is often polluted by competing cultural values that have no basis in Islam scripture.

The quest for knowledge has always applied to women in Islam. God has made no difference between genders in this area. The Prophet (P.B.U.H) once said: "Seeking knowledge is a mandatory for every Muslim (male and female)." (Sahih Bukhari)

History bears witness to the fact that the Muslim women have achieved numerous excellences in the field of science and technology thereby opening ways for more exploration through their findings and dedication. But the western media does not take these contributions into account nor is it ready to offer any kind of appreciation for these women who have broken male hegemony in the field of science and technology.

The fact is that the United States falls behind six Muslim countries in the percentage of women graduating in science to the total science graduate population. The countries whose ratio of women science graduates exceeds that of the United States are Bahrain, Brunei Darussalam, Kyrgyzstan, Lebanon, Qatar and Turkey. Morocco exceeds the United States in the ratio of women engineering graduates as a percentage of the science graduate population.

Traditionally, Muslim women do not face the kind of discouragement in the sciences to the extent that their Western counterparts do, which explains why statistics show such high ratios of Muslim women graduates in science fields as a percentage to the total science graduate population. However, the fact of the matter is that instead of any religion injunctions, these are the socio-economic hurdles that apply equally to both men and women and hinder their way to advancement. These hurdles reflect themselves in the form of poverty, illiteracy, political instability and the policy of foreign powers.

Data that explains the real problem can be found by comparing the total educated populations of countries and regions of the world. A high degree of illiteracy and low levels of secondary school enrollment account for the less number of graduates in poorer countries than in the wealthier regions. In locales defined by UNESCO in their recent report, gross secondary school enrollment ratios are very low: Africa (below 40%), West Asia (below 60%), and East Asia (below 75%).

Gender inequity is a fact of life and does exist, but Islam cannot be singled out for being responsible for it nor can it be relegated to Muslim countries. Some disparaging gender gaps in higher education exist where the religion of Islam isn't even practiced by a majority of the population. For example, only 44% of people enrolled in higher education in Switzerland are women, Guatemala (43%), Rwanda (37%), Korea (36%), Bhutan (34%), Cambodia (29%) and Liechtenstein (27%).

On the other side of the coin, in Tunisia, a country where 98% of people practice Islam, there were 5% more female students enrolled than males in higher education. Malaysian women made up 55% of the enrolled population in higher education, Lebanon (54%), Jordan and Libya (51%). Bahrain even exceeded the United States in the ratio of women enrolled in higher education by 6%. If education is freedom, then it looks like Muslim women in Bahrain are more liberated than American women.

It is not Islam that threatens a woman's right to education. Rather these are the governments, which are hostile to Islam, which often set up roadblocks to prevent Muslim women from obtaining education. Both France and Turkey are guilty of this type of exclusionary persecution, all under the false guise of secularism. According to Human Rights Watch (HRW), a prestigious nongovernmental organization, these bans exclude thousands of women from institutions of higher learning each year. A 2004 HRW report states, "This restriction of women's choice of dress is discriminatory and violates their right to education, their right to freedom of thought, conscience and religion, and their right to privacy."

Despite the fact that the Muslim woman is constantly being harassed about her choice in religion and face the sustained and clichéd portrayal at the hands of the western media that ridicule her faith and demonize her culture, there exists an Islamic tradition celebrating women in science. The Muslims need to remind the world of such heroic and ground-breaking women contributions in an attempt to correct their perspectives. Today, the Islamic culture in which women are encouraged to participate, excel and lead in scientific fields continues to express itself, not only through statistical data, but in real, living, breathing and praying people. Although
these women are exceptional, they are by no means the exception to the rule.

Here we have few examples from around the world.
Professor Samira Ibrahim Islam, was nominated as a distinguished Scientist of the World For the Year 2000 by UNESCO. She made significant contributions in drug safety by defining the Saudi profile for drug metabolism. Sameena Shah, presented an innovative algorithm in computerized cognitive leaning that she and a team of colleagues developed at IIT Delhi, India. Professor Dr. Bina Shaheen Siddiqui, has made significant contributions to medicine and agriculture through her study and classification of indigenous plant materials. She has been awarded several patents for anticancer constituents and biopesticides and has written more than 250 research articles. She has been honored with several prestigious awards including the Khwarizmi International Award of Iran and Salam Prize in Chemistry.

Historic records show that women participated in science and medicine in Muslim societies. By contrast, in America, during the 1890's women could not be doctors, and yet, Muslim women doctors were seen as equals to their male counterparts hundred's of years earlier, they were even responsible for written contributions in the field. Also, women like Ijliya, an astrolab builder, were employed as skilled scientists in Muslim courts. Others made progress in pharmacology.

The data for years 2002/2003 contained in these tables describes the percentage of women graduates in science and engineering out of the total science and engineering graduate population in each country, and pertains to higher-education in science: (Statistics from the "Global Education Digest" report released from UNESCO Institute for Statistics2005)

Woman Graduates in Science
Bahrain 74%
Bangladesh 24%
Brunei Darussalam 49%
Kyrgyzstan 64%
Lebanon 47%
Qatar 71%
Turkey 44%

Compared with...
U.S. 43%
Japan 25%

Women Graduates in Engineering
Eritrea 4%
Morocco 25%

Compared with...
U.S. 19%
Japan 13%

http://www.youth.com.pk/en.php 

Jumat, 11 Maret 2011

Hukum MLM (Multi Level Marketing)

Oleh : (Ust. Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi)

Pengantar
Termasuk masalah yang banyak dipertanyakan hukumnya oleh kaum muslimin yang cinta untuk mengetahui kebenaran dan peduli dalam membedakan halal dan haram adalah masalah Multi Level Marketing (MLM). Transaksi dengan sistem MLM ini telah merambah di tengah manusia dan banyak mewarnai suasana pasar masyarakat. Maka sebagai seorang pebisnis muslim, wajib untuk mengetahui hukum transaksi dengan sistem MLM ini sebelum bergelut didalamnya. Sebagaimana prinsip umum dari ucapan ‘Umar radhiyallahu’anhu:
“Jangan ada yang bertransaksi di pasar kami kecuali orang yang telah paham agama.” (Dikeluarkan oleh At-Tirmidzy dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany)
Maksud dari ucapan ‘Umar adalah bahwa seorang pedagang muslim hendaknya mengetahui hukum-hukum syariat tentang aturan berdagang atau transaksi dan mengetahui bentuk-bentuk jual-beli yang terlarang dalam agama. Dangkalnya pengetahuan tentang hal ini akan menyebabkan seseorang jatuh dalam kesalahan dan dosa. Sebagaimana telah kita saksikan tersebarnya praktek riba, memakan harta manusia dengan cara yang batil, merusak harga pasaran dan sebagainya dari bentuk-bentuk kerusakan yang merugikan masyarakat, bahkan merugikan negara.
Maka pada tulisan ini, kami akan menampilkan fatwa ulama terkemuka di masa ini. Mereka yang telah di kenal dengan keilmuan, ketakwaan dan semangat dalam membimbing dan memperbaiki umat.
Walaupun fatwa yang kami tampilkan hanya fatwa dari Lajnah Da’imah , Saudi Arabia , mengingat kedudukan mereka dalam bidang fatwa dan riset ilmiah. Namun kami juga mengetahui bahwa telah ada fatwa-fatwa lain yang sama dengan fatwa Lajnah Da’imah tersebut, seperti fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy (Perkumpulan Fiqh Islamy) di Sudan yang menjelaskan tentang hukum Perusahaan Biznas (Salah satu nama perusahaan MLM).
Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan ini dikeluarkan pada tanggal 17 Rabi’ul Akhir 1424 H, bertepatan dengan tanggal 17 Juni 2003 M pada majelis no. 3/24. kesimpulan dari fatwa mereka dalam dua poin-sebagaimana yang disampaikan oleh Amin ‘Am Majma Al-Fiqh Al-Islamy Sudan, Prof. DR. Ahmad Khalid Bakar-sebagai berikut:
“Satu, sesungguhnya bergabung dengan perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an pemasaran berjejaring (MLM) tidak boleh secara syar’i karena hal tersebut adalah qimar.[1]
Dua, Sistem perusahaan Biznas dan yang semisal dengannya dari perusahaan-perusaha an berjejaring (MLM) tidak ada hubungannya dengan akad samsarah[2]-sebagaimana yang disangka perusahaan (Biznas) itu dan sebagimana mereka mengesankan itu kepada ahlul ilmi yang memberi fatwa  boleh dengan alasan itu sebagai samsarah di sela-sela pertanyaan yang mereka ajukan kepada ahlul ilmi tersebut dan telah digambarkan kepada mereka perkara yang tidak sebenarnya-.”
Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy Sudan di atas dan pembahasan bersamanya telah dibukukan dan diberi catatan tambahan oleh seorang penuntut ilmu di Yordan, yaitu syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halaby.
Sepanjang yang  kami ketahui, belum ada dari para ulama ayang membolehkan sistem Multi Level Marketing ini. Memang ada sebagian dari tulisan orang-orang yang memberi kemungkinan bolehnya hal tersebut, tapi datangnya hanya dari sebagian para ulama yang dikabarkan kepada mereka sistem MLM dengan penggambaran yang tidak benar-sebagaimana dalam Fatwa Majma’ Al-Fiqh Al-Islamy-atau sebagian orang yang sebenarnya tidak pantas berbicara dalam masalah seperti ini.
Akhirulkalam, semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini ada manfaatnya untuk seluruh pembaca dan membawa kebaikan untuk kita. Wallahula’lam

Fatwa Lajnah Da’imah pada tanggal 14/3/1425 dengan nomor (22935)
Telah sampai pertanyaan-pertanya an yang sangat banyak kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah Li Al-Buhuts Al-Ilmiyah wa Al-Ifta[3] tentang aktifitas perusahaan-perusaha an pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM)[4] seperti Biznas dan hibah Al-Jazirah. Kesimpulan aktifitas mereka adalah meyakinkan seseorang untuk membeli sebuah barang atau produk agar dia (juga) mampu meyakinkan orang-orang lain untuk membeli produk tersebut (dan) agar orang-orang itu juga meyakinkan yang lainnya untuk membeli, demikian seterusnya. Setiap kali bertambah tingkatan anggota dibawahnya (downline), maka orang yang pertama akan mendapatkan komisi yang besar yang mencapai ribuan real. Setiap anggota yang dapat meyakinkan orang-orang setelahnya (downline-nya) untuk bergabung, akan mendapatkan komisi-komisi yang sangat besar yang mungkin dia dapatkan sepanjang berhasil merekrut anggota-anggota baru setelahnya ke dalam daftar para anggota. Inilah yang dinamakan dengan pemasaran berpiramida atau berjejaring (MLM).

JAWAB:
Alhamdullilah,
Lajnah menjawab pertanyaan diatas sebagai berikut:
Sesungguhnya transaksi sejenis ini adalah haram. Hal tersebut karena tujuan dari transaksi itu adalah komisi dan bukan produk. Terkadang komisi dapat mencapai puluhan ribu sedangkan harga produk tidaklah melebihi sekian ratus. Seorang yang berakal ketika dihadapkan di antara dua pilihan, niscaya ia akan memilih komisi. Karena itu, sandaran perusahaan-perusaha an ini dalam memasarkan dan mempromosikan produk-produk mereka adalah menampakkan jumlah komisi yang besar yang mungkin didapatkan oleh anggota dan mengiming-imingi mereka dengan keuntungan yang melampaui batas sebagai imbalan dari modal yang kecil yaitu harga produk. Maka produk yang dipasarkan oleh perusahaan-perusaha an ini hanya sekedar label dan pengantar untuk mendapatkan komisi dan keuntungan.

Tatkala ini adalah hakikat dari transaksi di atas, maka dia adalah haram karena beberapa alasan:
Pertama, transaksi tersebut mengandung riba dengan dua macam jenisnya; riba fadhl[5] dan riba nasi’ah[6]. Anggota membayar sejumlah kecil dari hartanya untuk mendapatkan jumlah yang lebih besar darinya. Maka ia adalah barter uang dengan bentuk tafadhul (ada selisih nilai) dan ta’khir (tidak cash). Dan ini adalah riba yang diharamkan menurut nash dan kesepakatan[7]. Produk yang dijual oleh perusahaan kepada konsumen tiada lain hanya sebagai kedok untuk barter uang tersebut dan bukan menjadi tujuan anggota (untuk mendapatkan keuntungan dari pemasarannya) , sehingga (keberadaan produk) tidak berpengaruh dalam hukum (transaksi ini).
Kedua, ia termasuk gharar[8] yang diharamkan menurut syari’at, karena anggota tidak mengetahui apakah dia akan berhasil mendapatkan jumlah anggota yang cukup atau tidak?. Dan bagaimanapun pemasaran berjejaring atau piramida itu berlanjut, dan pasti akan mencapai batas akhir yang akan berhenti padanya. Sedangkan anggota tidak tahu ketika bergabung didalam piramida, apakah dia berada di tingkatan teratas sehingga ia beruntung atau berada di tingkatan bawah sehingga ia merugi? Dan kenyataannya, kebanyakan anggota piramida merugi kecuali sangat sedikit di tingkatan atas. Kalau begitu yang mendominasi adalah kerugian. Dan ini adalah hakikat gharar, yaitu ketidakjelasan antara dua perkara, yang paling mendominasi antara keduanya adalah yang dikhawatirkan. Dan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari gharar sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya.
Tiga, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa memakan harta manusia dengan kebatilan, dimana tidak ada yang mengambil keuntungan dari akad (transaksi) ini selain perusahaan dan para anggota yang ditentukan oleh perusahaan dengan tujuan menipu anggota lainnya. Dan hal inilah yang datang nash pengharamannya dengan firman (Allah) Ta’ala,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil” [An-Nisa’:29]
Empat, apa yang terkandung dalam transaksi ini berupa penipuan, pengkaburan dan penyamaran terhadap manusia, dari sisi penampakan produk seakan-akan itulah tujuan dalam transaksi, padahal kenyataanya adalah menyelisihi itu. Dan dari sisi, mereka mengiming-imingi komisi besar yang seringnya tidak terwujud. Dan ini terhitung dari penipuan yang diharamkan. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
“Siapa yang menipu maka ia bukan dari saya” [Dikeluarkan Muslim dalam shahihnya]
Dan beliau juga bersabda,
“Dua orang yang bertransaksi jual beli berhak menentukan pilihannya (khiyar) selama belum berpisah. Jika keduanya saling jujur dan transparan, niscaya akan diberkati transaksinya. Dan jika keduanya saling dusta dan tertutup, niscaya akan dicabut keberkahan transaksinya.”[Muttafaqun’Alaihi]

Adapun pendapat bahwa transaksi ini tergolong samsarah[9], maka itu tidak benar. Karena samsarah adalah transaksi (dimana) pihak pertama mendapatkan imbalan atas usahanya mempertemukan barang (dengan pembelinya). Adapun pemasaran berjejaring (MLM), anggotanya-lah yang mengeluarkan biaya untuk memasarkan produk tersebut. Sebagaimana maksud hakikat dari samsarah adalah memasarkan barang, berbeda dengan pemasaran berjejaring (MLM), maksud sebenarnya adalah pemasaran komisi dan bukan (pemasaran) produk. Karena itu orang yang bergabung (dalam MLM) memasarkan kepada orang yang akan memasrkan dan seterusnya[10]. Berbeda dengan samsarah, (dimana) pihak perantara benar-benar memasarkan kepada calon pembeli barang. Perbedaan diantara dua transaksi adalah jelas.

Adapun pendapat bahwa komisi-komisi tersebut masuk dalam kategori hibah (pemberian), maka ini tidak benar, andaikata (pendapat itu) diterima, maka tidak semua bentuk hibah itu boleh menurut syari’at. (Sebagaimana) hibah yang terkait dengan suatu pinjaman adalah riba. Karena itu, Abdullah bin Salam berkata kepada Abu Burdah radhiyallahu’anhuma,
“Sesungguhnya engkau berada di suatu tempat yang riba tersebar padanya. Maka jika engkau memiliki hak pada seseorang kemudian dia menghadiahkan kepadamu sepikul jerami, sepikul gandum atau sepikul tumbuhan maka ia adalah riba.”[Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam Ash-Shahih]

Dan (hukum) hibah dilihat dari sebab terwujudnya hibah tersebut. Karena itu beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda kepada pekerjanya yang datang lalu berkata, “Ini untuk kalian, dan ini dihadiahkan kepada saya.” Beliau ‘alaihish shalatu wa sallam bersabda,
“Tidakkah sepantasnya engkau duduk di rumah ayahmu atau ibumu, lalu engkau menunggu apakah dihadiahkan kepadamu atau tidak?” [Muttafaqun’Alaih]

Dan komisi-komisi ini hanyalah diperoleh karena bergabung dalam sistem pemasaran berjejaring. Maka apapun namanya, baik itu hadiah, hibah atau selainnya, maka hal tersebut sama sekali tidak mengubah hakikat dan hukumnya.
Dan (juga) hal yang patut disebut disana ada beberapa perusahaan yang muncul di pasar bursa dengan sistem pemasaran berjejaring atau berpiramida (MLM) dalam transaksi mereka, seperti Smart Way, Gold Quest dan Seven Diamond. Dan hukumnya sama dengan perusahaan-perusaha an yang telah berlalu penyebutannya. Walaupun sebagiannya berbeda dengan yang lainnya pada produk-produk yang mereka perdagangkan.
Wabillahi taufiq wa shalallahu ‘ala Nabiyina Muhammad wa aalihi wa shohbihi.

[Fatwa diatas ditanda-tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Azis Alu Asy-Syaikh (ketua), Syaikh Shalih Al-Fauzan, Syaikh Abdullah Al-Ghudayyan, Syaikh Abdullah Ar-Rukban, Syaikh Ahmad Sair Al-Mubaraky dan Syaikh Abdullah Al-Mutlaq]

Dikutip dari majalah An-Nashihah volume 14, hal. 12-14
[1] Qimar adalah seseorang mengeluarkan biaya dalam sebuah transaksi yang ada kemungkinan dia beruntung dan ada kemungkinan dua merugi (Penerjemah)
[2] Yaitu jasa sebagai perantara atau makelar
[3] Yaitu komisi khusus bidang riset ilmah dan fatwa. Beranggotakan ulama-ulama terkemuka di Saudi Arabia bahkan menjadi rujukan kaum muslimin di berbagai belahan bumi. (Penerjemah)
[4] Kadang disebut dengan istilah Pyramid Scheme, network marketing atau multi level marketing (MLM). (Penerjemah)
[5] Riba fadhl adalah penambahan pada salah satu dari dua barang ribawy (yaitu barang yang berlaku pada hukum riba) yang sejenis dengan transaksi yang kontan (Penerjemah)
[6] Riba nasi’ah adalah transaksi antara dua jenis barang ribawy yang sama sebab ribanya dengan tidak secara kontan. (Penerjemah)
[7] Maksudnya menurut nash Al-Qur’an dan As-Sunnah serta kesepakatan para ulama. (Penerjemah)
[8] Gharar adalah apa yang belum diketahui akan diperoleh atau tidak, dari sisi hakikat dan kadarnya. (Penerjemah)
[9] Maksudnya jasa sebagai perantara atau makelar. (Penerjemah)
[10] Pengguna barang tersebut adalah anggota MLM, hal ini dikenal dengan istilah user 100%. (editor)

Sumber: Milis Salafi-Indonesia@yahoogroups.com

http://darussunnah.or.id/

Sejarah dan Macam-Macam Batik Indonesia


Sejarah batik indonesia
Batik secara historis berasal dari zaman nenek moyang yang dikenal sejak abad XVII yang ditulis dan dilukis pada daun lontar. Saat itu motif atau pola batik masih didominasi dengan bentuk binatang dan tanaman. Namun dalam sejarah perkembangannya batik mengalami perkembangan, yaitu dari corak-corak lukisan binatang dan tanaman lambat laun beralih pada motif abstrak yang menyerupai awan, relief candi, wayang beber dan sebagainya. Selanjutnya melalui penggabungan corak lukisan dengan seni dekorasi pakaian, muncul seni batik tulis seperti yang kita kenal sekarang ini.
Jenis dan corak batik tradisional tergolong amat banyak, namun corak dan variasinya sesuai dengan filosofi dan budaya masing-masing daerah yang amat beragam. Khasanah budaya Bangsa Indonesia yang demikian kaya telah mendorong lahirnya berbagai corak dan jenis batik tradisioanal dengan ciri kekhususannya sendiri.

Perkembangan Batik di Indonesia
Sejarah pembatikan di Indonesia berkaitan dengan perkembangan kerajaan Majapahit dan kerajaan sesudahnya. Dalam beberapa catatan, pengembangan batik banyak dilakukan pada masa-masa kerajaan Mataram, kemudian pada masa kerajaan Solo dan Yogyakarta.
Kesenian batik merupakan kesenian gambar di atas kain untuk pakaian yang menjadi salah satu kebudayaan keluarga raja-raja Indonesia zaman dulu. Awalnya batik dikerjakan hanya terbatas dalam kraton saja dan hasilnya untuk pakaian raja dan keluarga serta para pengikutnya. Oleh karena banyak dari pengikut raja yang tinggal diluar kraton, maka kesenian batik ini dibawa oleh mereka keluar kraton dan dikerjakan ditempatnya masing-masing.

Proses pembuatan batik
Dalam perkembangannya lambat laun kesenian batik ini ditiru oleh rakyat terdekat dan selanjutnya meluas menjadi pekerjaan kaum wanita dalam rumah tangganya untuk mengisi waktu senggang. Selanjutnya, batik yang tadinya hanya pakaian keluarga istana, kemudian menjadi pakaian rakyat yang digemari, baik wanita maupun pria.
Bahan kain putih yang dipergunakan waktu itu adalah hasil tenunan sendiri. Sedang bahan-bahan pewarna yang dipakai terdiri dari tumbuh-tumbuhan asli Indonesia yang dibuat sendiri antara lain dari : pohon mengkudu, tinggi, soga, nila, dan bahan sodanya dibuat dari soda abu, serta garamnya dibuat dari tanah lumpur.
Jadi kerajinan batik ini di Indonesia telah dikenal sejak zaman kerajaan Majapahit dan terus berkembang hingga kerajaan berikutnya. Adapun mulai meluasnya kesenian batik ini menjadi milik rakyat Indonesia dan khususnya suku Jawa ialah setelah akhir abad ke-XVIII atau awal abad ke-XIX. Batik yang dihasilkan ialah semuanya batik tulis sampai awal abad ke-XX dan batik cap dikenal baru setelah usai perang dunia kesatu atau sekitar tahun 1920. Kini batik sudah menjadi bagian pakaian tradisional Indonesia.


1.BatikKraton

  Batik Kraton awal mula dari semua jenis batik yang berkembang di Indonesia. Motifnya mengandung makna filosofi hidup. Batik-batik ini dibuat oleh para putri kraton dan juga pembatik-pembatik ahli yang hidup di lingkungan kraton. Pada dasarnya motifnya terlarang untuk digunakan oleh orang “biasa” seperti motif Parang Barong, Parang Rusak termasuk Udan Liris, dan beberapa motif lainnya.


 
2.BatikSudagaran

Motif larangan dari kalangan keraton merangsang seniman dari kaum saudagar untuk menciptakan motif baru yang sesuai selera masyarakat saudagar. Mereka juga mengubah motif larangan sehingga motif tersebut dapat dipakai masyarakat umum. Desain batik Sudagaran umumnya terkesan “berani” dalam pemilihan bentuk, stilisasi atas benda-benda alam atau satwa, maupun kombinasi warna yang didominasi warna soga dan biru tua. Batik Sudagaran menyajikan kualitas dalam proses pengerjaan serta kerumitan dalam menyajikan ragam hias yang baru. Pencipta batik Sudagaran mengubah batik keraton dengan isen-isen yang rumit dan mengisinya dengan cecek (bintik) sehingga tercipta batik yang amat indah.



3.BatikPetani

Batik yang dibuat sebagai selingan kegiatan ibu rumah tangga di rumah di kala tidak pergi ke sawah atau saat waktu senggang. Biasanya batik ini kasar dan kagok serta tidak halus. Motifnya turun temurun sesuai daerah masing-masing dan batik ini dikerjakan secara tidak profesional karena hanya sebagai sambilan. Untuk pewarnaan pun diikutkan ke saudagar.


4.BatikBelanda

Warga keturunan Belanda banyak yang tertarik dengan batik Indonesia. Mereka membuat motif sendiri yang disukai bangsa Eropa. Motifnya berupa bunga-bunga Eropa, seperti tulip dan motif tokoh-tokoh cerita dongeng terkenal di sana.


5.BatikJawaHokokai

Pada masa penjajahan Jepang di pesisir Utara Jawa lahir ragam batik tulis yang disebut batik Hokokai. Motif dominan adalah bunga seperti bunga sakura dan krisan. Hampir semua batik Jawa Hokokai memakai latar belakang (isen-isen) yang sangat detail seperti motif parang dan kawung di bagian tengah dan tepiannya masih diisi lagi, misalnya motif bunga padi.

Marilah kita jaga semua kekayaan yang ada di negeri kita. Jangan sampai timbul lagi masalah yang sama seperti masalah Malaysia menghakpatenkan kekayan bangsa kita untuk negaranya. Mari kita lestarikan semua kekayaan di negeri kita.

www.batikindonesia.com

Rabu, 23 Februari 2011

Hadiah Istimewa Bagi Saudariku Agar Meninggalkan Musik dan Lagu

Penyusun: Ummu Rumman
Muraja’ah: Ustadz Abu Salman
Suatu ketika seorang akhowat tengah duduk bersama beberapa temannya mengerjakan tugas kuliah. Tak jauh dari mereka, duduk pula seorang teman. Sepertinya ia sedang menunggu kedatangan seseorang. Sang akhowat terheran-heran melihat temannya. Telah satu jam lebih ia duduk tanpa melakukan apapun kecuali ia tampak berkonsentrasi penuh menghafalkan sesuatu yang tertulis dalam kertas yang dipegangnya. Ketika rasa ingin tahunya tak terbendung lagi akhowat tersebut pun bertanya, apakah gerangan yang ia hafalkan? apakah yang tertulis dalam kertas tersebut? Betapa kagetnya ketika ia dapati isi kertas tersebut adalah syair lagu-lagu (musik). Astagfirullah… wal ‘iyyadzubillahi min dzalik.

Ya ukhty, betapa melekatnya musik di kehidupan umat muslim saat ini. Di mana pun, kapan pun, bahkan saat kondisi apapun musik tidak terlepas dari mereka. Ada pendapat yang mengatakan bahwa sesungguhnya musik membantu proses belajar. Orang yang belajar dengan diiringi musik, maka ilmu itu akan lebih mudah terpatri di dalam dirinya. Sebagian lagi menganjurkan kepada wanita yang sedang hamil untuk secara rutin memperdengarkan musik klasik pada usia kehamilan tertentu untuk membantu perkembangan pertumbuhan otak sang jabang bayi. Dan pendapat yang tak kalah jahil adalah perkataan yang menyebutkan bahwa orang-orang yang tidak menyukai musik adalah orang yang kasar hatinya. Subhanallah… Maha suci Allah dari segala apa yang mereka tuduhkan…
Hukum Musik dan Lagu
Allah Ta’ala telah berfirman, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman: 6) Sebagian besar mufassir (Ulama Ahli Tafsir -ed) berkomentar, yang dimaksud dengan “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat tersebut adalah nyanyian. Hasan Al Basri berkata, “Ayat itu turun dalam masalah musik dan lagu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kelak akan ada dari umatku beberapa kaum yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras dan musik.” (HR. Bukhari dan Abu Dawud). Maksudnya adalah akan datang pada suatu masa di mana beberapa golongan dari umat Islam mempercayai bahwa zina, memakai sutera asli, minum minuman keras dan musik hukumnya halal, padahal semua itu adalah haram. Imam Syafi’i dalam kitab Al Qodho’ berkata, “Nyanyian adalah kesia-siaan yang dibenci, bahkan menyerupai perkara batil. Barangsiapa memperbanyak nyanyian maka dia adalah orang yang dungu, kesaksiannya tidak dapat diterima.”
Ya ukhty, telah jelas haramnya musik dan nyanyian. Maka janganlah engkau menjadi ragu hanya karena banyaknya orang yang menganggap bahwa musik itu halal. “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)
Adapun orang-orang yang menyatakan tentang halalnya musik maupun mengatakan tentang berbagai manfaat musik, maka cukuplah kita katakana kepada mereka, apakah engkau mengaku lebih mengetahui kebenaran dan kebaikan daripada Allah dan Rasul-Nya ?
Bingkisan Istimewa untuk Saudariku agar Bersegera Meninggalkan Musik dan Lagu
Ya ukhty, salah satu tanda syukurmu atas nikmat yang diberikan oleh Allah adalah engkau menggunakan nikmat-Nya untuk beribadah kepada-Nya. Serta engkau tidak menggunakan nikmat-Nya untuk bermaksiat kepada-Nya. Ingatlah bahwa tidak ada sesuatu pun nikmat pada dirimu melainkan nikmat itu berasal dari Allah. Maka janganlah engkau gunakan nikmat-nikmat Allah itu untuk sesuatu hal yang tiada berguna terlebih lagi dengan perkara yang telah jelas keharamannya.
Ukhty, engkau telah mengetahui bahwa biasanya kesudahan hidup seseorang itu pertanda dari apa yang dilakukannya selama di dunia, lahir dan batin. Dan diantara tanda seseorang itu husnul khotimah atau su’ul khotimah adalah ucapan yang sering ia ucapkan di akhir hayatnya. Karena itu, demi Allah! Janganlah engkau menganggap remeh masalah musik ini. Engkau mungkin mengatakan, “Ah, aku hanya mendengarnya sekali dua kali saja. aku mendengarnya hanya untuk mengisi waktu senggang atau ketika bosan. Kupikir itu tidak akan berpengaruh pada diriku.” Tahukah engkau ukhty, sesungguhnya pelaku maksiat itu terbiasa karena ia mengizinkan satu dua kali tindakan maksiat. Meskipun hanya sekali dua kali, itu tetaplah maksiat dan bisa mendatangkan murka Allah.
Sekali engkau mendengar atau menyanyikannya, maka sebuah noktah telah kau torehkan pada hatimu. Dan karena telah sekali engkau terlena, engkau pun cenderung melakukannya lagi sehingga makin sulit engkau berlepas diri dari musik dan nyanyian. Dan ketika musik telah menjadi kebiasaan, sungguh dikhawatirkan ia akan menjadi kebiasaan hingga akhir hidup. Betapa sering telinga ini mendengar kisah tentang orang-orang yang mengakhiri hidupnya dengan lantunan musik dan lagu. Mereka tidak bisa mengucapkan syahadat Laailaha illallaah, meski dengan terbata-bata. Justru lantunan musik yang terdengar dari lisan mereka – Na’udzubillahi min dzalik. Meski mungkin mereka pun menginginkan untuk mengucapkan kalimat syahadat, tetapi tenyata lisan mereka terasa ‘berat’ dan telah terlanjur terbiasa dengan musik.
Ukhty, kita memohon pada Allah kesudahan hidup yang baik. Meninggal sebagai muwahid dan syahadat Laailaha illallaah sebagai penutup hidup kita. Aamiin…
Maraji’:
  1. 70 Fatwa Tentang Al-Qur’an (Abu Anas Ali bin Husain Abu Luz)
  2. Berbenah Diri untuk Penghafal Al-Qur’an (Dr. Anis Ahmad Kurzun), Majalah As Sunnah, edisi Ramadhan 06-07/ Tahun XI/ 1428H/ 2007M
  3. Bersanding dengan Bidadari di Surga (Dr. Muhammad bin Ibrahim An-Naim)
  4. Hukum Musik dan Lagu, Rasa’ilut Taujihaat Al Islamiyyah, 1/ 514 – 516 (Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
  5. Kiat Mengatasi Kendala Membaca dan Menghafal Al-Qur’an (Haya Ar-Rasyid)
***
Artikel www.muslimah.or.id

Sabtu, 12 Februari 2011

Cara Mencuci Pakaian Batik yang Benar

 
  
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk merawat baju batik, agar tetap awet dan memiliki warna yang indah.
  1. Saat mencucinya, gunakan sabun pencuci khusus untuk kain batik yang banyak dijual di pasaran.
  2. Atau, cuci baju batik dengan sampo rambut. Sebelumnya, larutkan sampo di air sampai tak ada bagian yang mengental. Lalu, celupkan design batik.
  3. Mencuci model batik juga bisa dengan menggunakan buah lerak atau daun tanaman dilem yang sudah diredam air hangat. Caranya, remas-remas buah lerak atau daun dilem sampai mengeluarkan busa lalu tambahkan air secukupnya, dan siap untuk mencuci batik. Aroma buah lerak mampu mencegah munculnya hewan kecil yang bisa merusak model baju batik.
  4. Saat mencuci desain baju batik, jangan pakai deterjen dan jangan digosok. Jika batik tak terlalu kotor, cukup rendam di air hangat. Tapi jika benar-benar kotor, misalnya terkena noda makanan, bisa dihilangkan dengan sabun mandi atau kulit jeruk. Caranya, cukup dengan mengusapkan sabun mandi atau kulit jeruk di bagian yang kotor tadi.
  5. Sebaiknya, jangan mencuci batik dengan mesin cuci.
  6. Saat akan menjemurnya, batik yang basah tak perlu diperas. Dan jangan menjemurnya langsung di bawah sinar matahari. Jemurlah di tempat teduh atau diangin-anginkan hingga kering.
  7. Saat menjemurnya, tarik bagian tepi batik secara perlahan agar serat yang terlipat kembali ke posisi semula.
  8. Jika sudah dijemur, hindari menyeterika batik secara langsung. Jika batik tampak sangat kusut, semprotkan sedikit air di atas kain batik lalu letakan sehelai alas kain di atasnya, baru diseterika.
  9. Bila Anda ingin memberi pewangi atau pelembut kain pada batik tulis, jangan semprotkan langsung pada kainnya. Sebaiknya, tutupi dulu batik tulis dengan koran, lalu semprotkan cairan pewangi dan pelembut kain tadi di atas koran.
  10. Jangan semprotkan parfum atau minyak wangi langsung ke kain batik, terutama batik sutera dengan pewarna alami.
  11. Simpan batik kesayangan Anda dalam plastik agar tak dimakan ngengat. Saat disimpan dalam lemari jangan diberi kapur barus, karena zat padat ini sangat keras dan bisa merusak batik.
  12. Cara lain agar batik tak dimakan ngengat, beri sedikit merica yang dibungkus tisu di lemari tempat menyimpan batik. Atau, letakkan akar wangi yang sudah dua kali melalu proses pencelupan dalam air panas dan dijemur hingga kering. Baju Batik anda akan selalu tampil baru sepeti di tempat jual batik dan jual baju batik.
(http://www.tabloidnova.com)