Beberapa pertanyaan menghampiri meja Redaksi, yaitu menyangkut problem
yang dihadapi wanita muslimah saat harus berobat atau memeriksakan
kesehatan kepada dokter lelaki. Ini menjadi ganjalan bagi kaum hawa.
Apabila tidak ada dokter wanita, atau jika sulit mendapatkan dokter
wanita, lantas bagaimanakah hukumnya? Apalagi jika menyangkut hal-hal
yang sangat pribadi, seperti partus (persalinan), atau keluhan lain yang
memaksa wanita membuka auratnya.
Islam mensyariatkan, jika seseorang tertimpa penyakit maka ia
diperintahkan untuk berusaha mengobatinya. Al-Qur`ân dan as-Sunnah telah
menetapkan syariat tersebut. Dan pada pelayanan dokter memang terdapat
faedah, yaitu memelihara jiwa. Satu hal yang termasuk ditekankan dalam
syariat Islam.
Pembahasan masalah di atas akan diulas melalui beberapa sub judul,
dengan bercermin pada fatwa-fatwa ulama kontemporer. Silahkan menyimak.
PANDANGAN ISLAM TERHADAP IKHTILAT
Pembahasan tentang ikhtilat sangat penting untuk menjawab persoalan di
atas. Yakni untuk menjaga kehormatan dan menghindarkan dari perbuatan
yang mengarah dosa dan kekejian.
Yang dimaksud ikhtilat, yaitu berduanya seorang lelaki dengan seorang
perempuan di tempat sepi. Dalam hal ini menyangkut pergaulan antara
sesama manusia, yang rambu-rambunya sangat mendapat perhatian dalam
Islam. Yaitu berkait dengan ajaran Islam yang sangat menjunjung tinggi
keselamatan bagi manusia dari segala gangguan. Terlebih lagi dalam
masalah mu'amalah (pergaulan) dengan lain jenis. Dalam Islam, hubungan
antara pria dan wanita telah diatur dengan batasan-batasan, untuk
membentengi gejolak fitnah yang membahayakan dan mengacaukan kehidupan.
Karenanya, Islam telah melarang pergaulan yang dipenuhi dengan ikhtilat
(campur baur antara pria dan wanita).
Dalam hadits di bawah ini, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
telah memperingatkan kaum lelaki untuk lebih berhati-hati dalam masalah
wanita.
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ
الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ
الْمَوْتُ
"Berhati-hatilah kalian dari menjumpai para wanita,” maka seorang
sahabat dari Anshar bertanya,"Bagaimana pendapat engkau tentang saudara
ipar, wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab,"Saudara ipar adalah maut
(petaka).” [HR Bukhari dan Muslim].
Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah memperingatkan bahaya ikhtilat ini dengan
pernyataannya: “Ikhtilat yang terjadi di antara lelaki dan wanita
menjadi penyebab banyaknya perbuatan keji dan zina”.[1] Maka, sungguh
kehatian-hatian Islam dalam banyak hal, ialah demi kemaslahatan
kehidupan manusia itu sendiri.
PERINTAH MENJAGA AURAT DAN MENAHAN PANDANGAN
Di antara keindahan syariat Islam, yaitu ditetapkannya larangan
mengumbar aurat dan perintah untuk menjaga pandangan mata kepada obyek
yang tidak diperbolehkan, lantaran perbuatan itu hanya akan mencelakakan
diri dan agamanya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman (yang artinya): Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih
suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari
mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka, dan
janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka,
atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka,
atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau
putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara
perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka
miliki atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat
wanita . . ." [an-Nûr/24: 30-31].
Larangan melihat aurat, tidak hanya untuk yang berlawan jenis, akan
tetapi Islam pun menetapkan larangan melihat aurat sesama jenis, baik
antara lelaki dengan lelaki lainnya, maupun antara sesama wanita.
Disebutkan dalam sebuah hadits:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ أَبِيهِ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا
يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى
عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
"Dari ‘Abdir-Rahman bin Abi Sa`id al-Khudri, dari ayahnya, bahwasanya
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah seorang lelaki
melihat kepada aurat lelaki (yang lain), dan janganlah seorang wanita
melihat kepada aurat wanita (yang lain)". [HR Muslim]
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, di antara kandungan hadits ini,
yaitu larangan bagi seorang lelaki melihat aurat lelaki (lainnya) dan
wanita melihat aurat wanita (lainnya). Di kalangan ulama, larangan ini
tidak diperselisihkan. Sedangkan lelaki melihat aurat wanita, atau
sebaliknya wanita melihat aurat lelaki, maka berdasarkan Ijma',
perbuatan seperti ini merupakan perkara yang diharamkan. Rasulullah
mengarahkan dengan penyebutan larangan seorang lelaki melihat aurat
lelaki lainnya, yang berarti lelaki yang melihat aurat wanita maka lebih
tidak dibolehkan.[2]
Selain itu juga, guna mengantisipasi terjadinya perbuatan buruk, yang
disebabkan karena terjalinnya hubungan bebas antara lelaki perempuan,
sehingga Islam benar-benar menutup akses ke arah sana. Yaitu dengan
mengharamkan terjadinya persentuhan antara kulit lelaki dan perempuan.
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
لِأَنْ يُطْعَنَ فِيْ رَأْسِ أَحَدِكُمْ بِمِخْيَطٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةٍ لاَ تَحِلُّ لَهُ
"Tertusuknya kepala salah seorang di antara kalian dengan jarum besi,
(itu) lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal
baginya". [3]
Demikian sekilas prinsip pergaulan dengan lawan jenis yang telah
ditetapkan Islam. Tujuannya, ialah demi kebaikan yang sebesar-besarnya.
IDEALNYA MUSLIMAH BEROBAT KE DOKTER WANITA
Hukum asalnya, apabila ada dokter umum dan dokter spesialis dari kaum
Muslimah, maka menjadi kewajiban kaum Muslimah untuk menjatuhkan pilihan
kepadanya. Meski hanya sekedar keluhan yang paling ringan, flu batuk
pilek sampai pada keadaan genting, semisal persalinan ataupun jika harus
melakukan pembedahan.
Berkaitan dengan masalah itu, Syaikh Bin Bâz rahimahullah mengatakan:
“Seharusnya para dokter wanita menangani kaum wanita secara khusus, dan
dokter lelaki melayani kaum lelaki secara khusus kecuali dalam keadaan
yang sangat terpaksa. Bagian pelayanan lelaki dan bagian pelayanan
wanita masing-masing disendirikan, agar masyarakat terjauhkan dari
fitnah dan ikhtilat yang bisa mencelakakan. Inilah kewajiban semua
orang”.[4]
Lajnah Dâ-imah juga menfatwakan, bila seorang wanita mudah menemukan
dokter wanita yang cakap menangani penyakitnya, ia tidak boleh membuka
aurat atau berobat ke seorang dokter lelaki. Kalau tidak memungkinkan
maka ia boleh melakukannya.[5]
Bagaimana tidak? Karena seorang muslimah harus menjaga kehormatannya,
sehingga ia harus menjaga rasa malu yang telah menjadi fitrah wanita,
menghindarkan diri dari tangan pria yang bukan makhramnya, menjauhkan
diri dari ikhtilath. Tatkala ia ingin mendapatkan penjelasan mengenai
penyakitnya secara lebih banyak, lebih leluasa bertanya, dan sebagainya,
maka mau tidak mau hal ini tidak akan bisa didapatkan dengan baik,
melainkan jika seorang wanita berobat atau memeriksakan dirinya kepada
dokter atau ahli medis wanita. Bila tidak, maka hal itu sulit dilakukan
secara maksimal.
BAGAIMANA BILA TIDAK ADA DOKTER WANITA?
Kenyataan yang kita saksikan cukup langkanya dokter umum maupun
spesialis dari kalangan kaum hawa. Keadaan ini, sedikit banyak tentu
menimbulkan pengaruh yang cukup membuat risih kaum wanita, bila mereka
mesti berhadapan dengan lawan jenis untuk berobat. Sehingga banyak
diantara kaum wanita yang terpaksa berobat kepada dokter pria.
Syaikh Bin Bâz rahimahullah memandang permasalahan ini sebagai persoalan
penting untuk diketahui dan sekaligus menyulitkan. Akan tetapi, ketika
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memberi karunia ketakwaan dan ilmu
kepada seorang wanita, maka ia harus bersikap hati-hati untuk dirinya,
benar-benar memperhatikan masalah ini, dan tidak menyepelekan. Seorang
wanita memiliki kewajiban untuk mencari dokter wanita terlebih dahulu.
Bila mendapatkannya, alhamdulillah, dan ia pun tidak membutuhkan bantuan
dokter lelaki.[6]
Bila memang dalam keadaan darurat dan terpaksa, Islam memang membolehkan
untuk menggunakan cara yang mulanya tidak diperbolehkan. Selama
mendatangkan maslahat, seperti untuk pemeliharaan dan penyelamatan jiwa
dan raganya. Seorang muslimah yang keadaannya benar-benar dalam kondisi
terhimpit dan tidak ada pilihan, (maka) ia boleh pergi ke dokter lelaki,
baik karena tidak ada ada seorang dokter muslimah yang mengetahui
penyakitnya maupun memang belum ada yang ahli.
Allah Ta`ala menyebutkan dalam firman-Nya surat al-An'âm/6 ayat 119:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ
"(padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang
diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya)".
Meskipun dibolehkan dalam kondisi yang betul-betul darurat, tetapi harus
mengikuti rambu-rambu yang wajib untuk ditaati. Tidak berlaku secara
mutlak. Keberadaan mahram adalah keharusan, tidak bisa ditawar-tawar.
Sehingga tatkala seorang muslimah terpaksa harus bertemu dan berobat
kepada dokter lelaki, ia harus didampingi mahram atau suaminya saat
pemeriksaan. Tidak berduaan dengan sang dokter di kamar praktek atau
ruang periksa.
Syarat ini disebutkan Syaikh Bin Bâz rahimahullah untuk pengobatan pada
bagian tubuh yang nampak, seperti kepala, tangan, dan kaki. Jika obyek
pemeriksaan menyangkut aurat wanita, meskipun sudah ada perawat wanita
–umpamanya- maka keberadaan suami atau wanita lain (selain perawat)
tetap diperlukan, dan ini lebih baik untuk menjauhkan dari
kecurigaan.[7]
Ketika Syaikh Shalih al-Fauzan ditanya mengenai hukum berobat kepada dokter yang berbeda jenisnya, beliau menjelaskan:
“Seorang wanita tidak dilarang berobat kepada dokter pria, terlebih lagi
ia seorang spesialis yang dikenal dengan kebaikan, akhlak dan
keahliannya. Dengan syarat, bila memang tidak ada dokter wanita yang
setaraf dengan dokter pria tersebut. Atau karena keadaan si pasien yang
mendesak harus cepat ditolong, (karena) bila tidak segera, penyakit
(itu) akan cepat menjalar dan membahayakan nyawanya. Dalam masalah ini,
perkara yang harus diperhatikan pula, dokter tersebut tidak boleh
membuka sembarang bagian tubuh (aurat) pasien wanita itu, kecuali
sebatas yang diperlukan dalam pemeriksaan. Dan juga, dokter tersebut
adalah muslim yang dikenal dengan ketakwaannya. Pada situasi
bagaimanapun, seorang muslimah yang terpaksa harus berobat kepada dokter
pria, tidak dibolehkan memulai pemeriksaan terkecuali harus disertai
oleh salah satu mahramnya".[8]
Ketika Lajnah Dâ-imah menjawab sebuah pertanyaan tentang syarat-syarat
yang harus terpenuhi bagi dokter lelaki untuk menangani pasien
perempuan, maka Lajnah Dâ-imah mengeluarkan fatwa yang berbunyi:
“(Syarat-syaratnya), yaitu tidak dijumpai adanya dokter wanita muslimah
yang sanggup menangani penyakitnya, dokter tersebut seorang muslim lagi
bertakwa, dan pasien wanita itu didampingi oleh mahramnya”.[9]
Demikian pula menurut Syaikh Muhammmad bin Shalih al-‘Utsaimin. Hanya
saja, untuk menangani wanita muslimah, beliau rahimahullah lebih memilih
seorang dokter wanita beragama Nashrani yang dapat dipercaya, daripada
memilih seorang dokter lelaki muslim. Kata beliau: “Menyingkap aurat
lelaki kepada wanita, atau aurat wanita kepada pria ketika dibutuhkan
tidak masalah, selama terpenuhi dua syarat, yaitu aman dari fitnah, dan
tidak disertai khalwat (berduaan dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya). Akan tetapi, berobat kepada dokter wanita yang beragama
Nasrani dan amanah, tetap lebih utama daripada ke doker muslim meskipun
lelaki, karena aspek persamaan”.[10]
Penjelasan tambahan Syaikh al-‘Utsaimin di atas, juga dipilih oleh para
ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah. Dalam fatwanya yang bernomor
16748, Lajnah Dâ-imah memfatwakan, wanitalah yang menangani (pasien)
wanita, baik ia seorang muslimah maupun bukan. Seorang lelaki yang bukan
mahram, tidak boleh menangani wanita, kecuali dalam kondisi darurat.
Yaitu bila memang tidak ditemukan dokter wanita.[11]
Begitu pula bagi wanita yang menghadapi persalinan.
Ada sebuah pertanyaan mengenai hukum wanita memasuki rumah sakit untuk
menjalani persalinan, sedangkan dokter-dokter di rumah sakit tersebut
seluruhnya laki-laki. Lajnah Dâ-imah memberi jawaban: "Dokter laki-laki
tidak boleh menangani persalinan wanita, kecuali dalam kondisi darurat,
seperti mengkhawatirkan kondisi wanita (ibu bayi), sementara itu tidak
ada dokter wanita yang mampu mengambil alih pekerjaan itu”.[12]
KESIMPULAN
Sebagaimana hukum asalnya, bila ada dokter wanita yang ahli, maka dialah
yang wajib menjalankan pemeriksaan atas seorang pasien wantia. Bila
tidak ada, dokter wanita non-muslim yang dipilih. Jika masih belum
ditemukan, maka dokter lelaki muslim yang melakukannya. Bila keberadaan
dokter muslim tidak tersedia, bisa saja seorang dokter non-muslim yang
menangani.
Akan tetapi harus diperhatikan, dokter lelaki yang melakukan pemeriksaan
hanya boleh melihat tubuh pasien wanita itu sesuai dengan kebutuhannya
saja, yaitu saat menganalisa penyakit dan mengobatinya, serta harus
menjaga pandangan. Dan juga, saat dokter lelaki menangani pasien wanita,
maka pasien wanita itu harus disertai mahram, atau suaminya, atau
wanita yang dapat dipercaya supaya tidak terjadi khalwat.
Dalam semua kondisi di atas, tidak boleh ada orang lain yang menyertai
dokter lelaki kecuali yang memang diperlukan perannya. Selanjutnya, para
dokter lelaki itu harus menjaga kerahasiaan si pasien wanita.[13]
Bertolak dari keterangan di atas, bagaimanapun keadaannya, sangat
diperlukan kejujuran kaum wanita dan keluarganya tentang masalah ini.
Hendaklah terlebih dulu beriktikad untuk mencari dokter wanita. Tidak
membuat bermacam alasan dikarenakan malas untuk berusaha. Semua harus
dilandasi dengan takwa dan rasa takut kepada Allah, kemudian berusaha
untuk mewujudkan tujuan-tujuan mulia di atas. Barangsiapa yang bertakwa
kepada Allah Azza wa Jalla , niscaya Allah Azza wa Jalla menjadikan
baginya kemudahan dalam urusannya.
Wallahu a'lam bish-shawâb.
Maraji`:
1. Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, Pengantar
Syaikh 'Abdul-'Aziz bin 'Abdullah Alu Syaikh, Darul-Muayyad, Cetakan I,
Tahun 1424 H.
2. Fatâwa, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin.
3. Fatâwa, Syaikh Shalih al-Fauzan.
4. Fatâwa wa Maqalat, Syaikh Bin Baz.
5. Fiqhun-Nawazil, Dr. Muhammad bin Hasan al-Jizani, Darul-Ibnil-Jauzi, Cetakan I, Tahun 1426-2005.
6. Majalah Mujamma`, Juz 3.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428H/2007M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Lihat ath-Thuruq Hukmiyah, hlm. 407.
[2]. Syarhu Shahîh Muslim.
[3]. Hadits shahîh diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan lainnya. Lihat ash-Shahîhah (226), Shahîhul-Jami' (5045).
[4]. Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 230.
[5]. Fatâwa Lajnah Dâ-imah, no. 4671. Dinukil dari al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha.
[6]. Al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha 228-229
[7]. Ibid.
[8]. Lihat Fatâwa, Syaikh Shalih al-Fauzan, Jilid 5.
[9]. Fatâwa Lajnah Dâ-imah no. 3507. Dinukil dari al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha, hlm. 242.
[10]. Lihat Fatâwa wa Rasail Ibni Utsaimin, Jilid 12.
[11]. Lihat al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil-Mardha. Dinukil dari halaman 244.
[12]. Fatâwa Lajnah Dâ-imah, no. 17000. Dinukil dari al-Fatâwa al-Muta’alliqah bith-Thibbi wa Ahkamil- Mardha, hlm. 245.
[13]. Diambil dari 3/196-197. Merupakan ketetapan Majma Fiqh Islami, no
85/12/85 yang bermuktamar pada tanggal 1-7 Muharram 1414 H. Ketetapan
ini dikukuhkan lagi pada muktamar tanggal 20 Sya’ban 1415 H.
http://almanhaj.or.id/