JAKARTA, KOMPAS.com — Gerakan Negara Islam Indonesia
kembali menjadi perbincangan setelah sejumlah orang ditemukan hilang
kesadaran. Mereka ditengarai “dicuci” otaknya untuk diindoktrinasi
sebuah keyakinan tertentu. Para aktivis NII bergerak mencari korban di
kampus-kampus.
Saya pernah didekati aktivis NII dan pernah bertemu dengan seseorang
yang dianggap sebagai Kepala Negara Islam Indonesia. Untung, saya masih
bisa berpikir rasional dan lari dari perangkap mereka.
Peristiwa
ini terjadi pada tahun 2006, sesaat sebelum saya resmi menjadi mahasiswa
di sebuah perguruan tinggi di kawasan Depok, Jawa Barat. Saya bertemu
dengan salah seorang dari mereka di sebuah toko buku.
Ia menegur saya,
mengajak berbincang dan kemudian meminta saya menjadi responden dari
sebuah penelitian tentang mahasiswa baru yang menurutnya sedang ia
lakukan. Dewi, demikian ia memperkenalkan diri, mengaku sebagai
mahasiswi dari kampus yang hendak saya masuki. Kami bertukar nomor
telepon dan janjian bertemu lagi keesokan harinya.
Besoknya, kami
kembali bertemu di sebuah tempat makan di sebuah pusat perbelanjaan di
Kota Depok. Awalnya, Dewi memperlakukan saya layaknya responden
penelitian. Ia menanyakan sejumlah pertanyaan sesuai kuesioner.
Setelah
pertanyaan kuesioner habis, Dewi membuka pembicaraan tentang hal lain.
Ia bercerita tentang seorang kawannya yang mengikuti seminar agama di
Malaysia. Kepada Dewi, temannya itu bercerita, seminar tersebut membahas
seputar penerjemahan kitab suci Al Quran. Berdasarkan cerita temannya,
tutur Dewi, kaum Islam akan kembali bangkit pada suatu hari. Kebangkitan
Islam dimulai dari sebuah negara yang dilintasi garis khatulistiwa.
Negara itu, kata Dewi, adalah Indonesia.
Cerita yang menarik. Dewi
membangkitkan rasa penasaran saya. Ia pun menempatkan diri sebagai
orang yang penasaran juga. Jadilah kami sepakat untuk bersama-sama
menemui temannya itu.
Dua hari kemudian, kami kembali bertemu di
tempat yang sama. Kali ini, selain Dewi, ada dua orang lain yang hadir,
seorang lelaki dan perempuan. Keduanya masih muda, terlihat seperti
mahasiswa juga. Yang lelaki adalah teman Dewi yang diceritakan pernah
ikut seminar di Malaysia. Sementara, yang perempuan, menurut Dewi adalah
sama seperti saya, salah seorang respondennya. Obrolan dimulai. Si
lelaki yang saya lupa namanya itu bercerita dengan membuka-buka Al
Quran lengkap dengan terjemahannya. Awalnya, ia menceritakan kebangkitan
Islam seperti yang dituturkan Dewi dengan merujuk ayat-ayat Al Quran.
Ujungya, ia bercerita tentang konsep hijrah.
Dengan menggunakan
penggalan ayat-ayat Al Quran, ia menjelaskan konsep hijrah. Seperti yang
dicontohkan Nabi Muhammad, katanya, hijrah itu diperlukan untuk
mengubah nasib menjadi lebih baik.
Lalu, bagaimana caranya hijrah
di zaman sekarang? Dengan gaya lugas dan meyakinkan, lelaki itu
melanjutkan, hijrah dapat dilakukan dengan berpindah negara. Dari negara
Republik Indonesia ke Negara Islam Indonesia.
Jujur, saya makin
penasaran dengan penjelasannya itu. Apalagi saat si lelaki itu bercerita
bahwa NII itu berada di dalam NKRI. Namun, ideologi negara itu,
katanya, bukan Pancasila. Jika ingin hijrah, maka harus berpindah
ideologi dari Pancasila ke ideologi Islam.
Saya sempat
memberondongnya dengan sejumlah pertanyaan. "Kalau begitu, hijrah ini
gerakan ekstrem kanan, dong? Berusaha mengubah ideologi? Bagaimana bisa
di dalam suatu negara ada negara lain? Seperti apa negaranya? Bagaiamana
warganya? Enggak masuk akal."
Lelaki itu menjawab, "Ibaratnya goa
yang gelap, jika ingin melihat apa yang ada di dalam goa, maka Anda
harus masuk dulu ke dalam goa."
Dalam pertemuan itu, tak
habis-habis pertanyaan saya ungkapkan kepadanya. Lelaki itu pun
memutuskan untuk mengajak saya bertemu langsung dengan Kepala Negara
Islam Indonesia. Kepala negara tersebut, kata dia, akan menjelaskan
lebih jauh tentang konsep hijrah.
Saya Bertemu Kepala Negara Islam Indonesia
Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) memiliki sejumlah kepala
negara. Para kepala negara itulah yang berwenang membaiat calon anggota
baru.
Anggota NII harus berganti nama menjadi nama Islam.
Seperti yang saya tuturkan sebelumnya ,
seorang anggota NII laki-laki mengajak saya bertemu dengan kepala
negara NII yang akan menjelaskan lebih jauh konsep hijrah dan cara
bergabung menjadi anggota. Ia meminta saya datang ke sebuah rumah
kontrakan di bilangan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, tidak jauh dari
Pasar Pondok Labu.
Didampingi Dewi, saya kemudian memutuskan untuk
mendatangi rumah kontrakan yang dimaksud. Meskipun takut, saya
memberanikan diri untuk datang. Saya penasaran ingin melihat sosok
kepala negara yang katanya ada di Indonesia, selain Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono itu.
Esok harinya, saya dan Dewi pergi ke rumah
kontrakan tersebut. Teman perempuan Dewi tidak jadi ikut karena ada
acara lain. Dewi, yang kesan saya berlaku sok lugu, seolah tidak tahu
apa-apa dan seolah-olah sama posisinya dengan saya, menuntun saya ke
sana.
Berdasarkan arahan si teman lelakinya, akhirnya kami tiba di
sebuah kontrakan. Rumah tersebut tidak terlalu luas. Berupa petakan
yang berjajar dan berimpit dengan rumah kontrakan lainnya. Terdapat
ruang tamu, dua ruang berupa kamar, kamar mandi, dan dapur di rumah
kontrakan itu. Sesampainya di sana, kami diterima oleh si teman lelaki
Dewi.
Seperti tamu pada umumnya, kami disuguhi minuman. Namun,
saking curiganya, saya enggan meminum atau memakan apa pun yang
disuguhkan. Selang beberapa menit, lelaki teman Dewi itu mengajak kami
masuk ke sebuah kamar untuk bertemu kepala negara. Namun, saya dan Dewi
dipisahkan. "Harus sendiri-sendiri," kata lelaki itu.
Kemudian
lelaki itu mengantar saya lebih dulu ke kamar. Sementara Dewi tetap
duduk di ruang tamu menunggu giliran diantar ke kamar lain untuk bertemu
kepala negara lainnya. Saya dan lelaki itu tiba di sebuah kamar yang
juga tidak terlalu luas. Hanya ada sebuah meja, dua buah kursi, dan
sebuah kipas angin di sana. Juga ada setumpuk buku dan Al Quran di atas
meja.
Karena takut terjadi apa-apa, saya meminta lelaki itu
menyerahkan kunci kamar pada saya. Kemudian dikabulkan, kunci kamar saya
pegang. Lelaki itu kemudian menjelaskan aturan main bertemu kepala
negara. Ia berpesan, saya tidak boleh menoleh ke belakang saat kepala
negara mengetuk pintu kamar. Saya harus berdiri saat mendengar pintu
diketuk sampai sang kepala negara duduk di hadapan saya. "Baiklah," saya
sanggupi.
Mengganti nama
Kemudian
lelaki itu mengeluarkan sebuah buku nama-nama Islam. Ia meminta saya
memilih sebuah nama. Menurut dia, anggota NII harus berganti nama
menjadi nama Islam. Setelah cukup lama mencari nama, akhirnya saya
memilih Faizah sebagai nama depan, sedangkan nama belakangnya saya lupa.
Selesai
pemilihan nama, lelaki itu mendata identitas saya. Ia menanyakan nama
orangtua, silsilah keluarga, penghasilan orangtua, profesi orangtua dan
saudara, termasuk profesi paman, bibi, dan lainnya.
Selesai
pendataan, kami kembali berbincang sejenak menunggu sang kepala negara
tiba. Untuk memastikan kedatangan sang kepala negara, lelaki itu keluar
ruangan. Dan tidak lama kembali masuk ruang kamar lalu menyampaikan pada
saya bahwa kepala negara telah siap. Kemudian ia keluar ruangan dan
menutup pintu.
Saya seorang diri di kamar, menunggu sang kepala
negara mengetuk pintu. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu. Tanpa
menoleh, saya berdiri, menyambut kedatangan sang kepala negara. Kemudian
tampak di hadapan saya seorang lelaki muda sekitar 30 tahun mengenakan
safari, berdasi, dan memakai peci hitam. Sekilas penampilannya tampak
seperti mantan Presiden Soekarno. Lelaki yang berkulit agak gelap dan
bermata sayu itu adalah sang kepala negara.
Ia memulai pembicaraan
dengan menyakan nama. Ia meminta saya menjawab dengan nama Islam yang
telah saya pilih. "Faizah," kata saya yang kemudian dicatatnya di sebuah
kertas. Identitas diri saya beserta keluarga ditanyakannya kembali.
Sang kepala negara itu juga bertanya apakah saya memiliki saudara polisi atau tidak. "Tidak," jawab saya.
Sosok
kepala negara itu berbeda dengan lelaki yang mengantar saya sebelumnya.
Ia terkesan lebih matang, berwibawa, tidak banyak bicara, dan apa yang
dikatakannya seolah sulit terbantahkan.
Saat pertemuan dengan
kepala negara itu, saya kembali mempertanyakan konsep negara di dalam
negara. Ia menjelaskan, mereka (NII) telah membangun negara yang lengkap
dengan kepala negara, warga negara, dan wilayah negara. Sumber
pendapatan negara, katanya, berasal dari pertanian, kehutanan,
perkebunan, dan industri yang dikelola warga negara.
Menurutnya,
NII memiliki sekian hektar hutan jati emas, kebun sayuran organik, dan
lainnya. Ia juga bercerita sejumlah artis Ibu Kota telah bergabung
sebagai warga negara. Kemudian ia menyebutkan salah satu nama penyanyi
terkenal. Sampai saat itu, saya masih merasa bahwa konsep negara dalam
negara seperti yang disampaikannya tidak masuk akal. "Ini ilegal" kata
saya dalam hati.
Saya terus mengajukan pertanyaan demi pertanyaan.
Berlangsung tanya jawab selama berjam-jam. Hingga akhirnya sang kepala
negara tampak lelah meladeni saya. Ia kemudian menanyakan kesediaan saya
untuk bergabung.
Penjelasan yang diajukan kepala negara mengenai konsep negara dalam
negara membuat saya bingung. Tak ada satu pun penjelasan yang
meyakinkan. Saya terus mengajukan pertanyaan demi pertanyaan. Diskusi
saya dan kepala negara itu berlangsung berjam-jam. Kepala negara itu
tampak lelah meladeni kebawelan saya. Ia lantas menanyakan kesediaan
saya untuk bergabung.
Mereka menilai, orang-orang selain anggota NII adalah kafir, sehingga tidak jadi masalah jika harta mereka dirampas.
Ia menjelaskan,
sebelum bergabung, seorang calon warga negara harus memberikan sumbangan
dana kepada negara. Seingat saya, jumlahnya mencapai Rp 2 juta. Namun,
saat saya katakan bahwa saya tidak punya uang sejumlah itu, dia
menurunkan harga. Bahkan boleh dicicil beberapa kali dalam jangka waktu
tiga bulan.
Tetap saja saya enggan dan mengaku tidak punya uang. "Uang dari mana? Saya kan mahasiswa, belum kerja juga," kata saya.
Lantas
ia mulai menjelaskan dengan dalil-dali Al Quran yang
diinterpretasikannya berbeda tentang mengambil harta orang lain. Ia
bilang, ambillah harta dari orangtuamu, saudaramu, orang dekatmu, atau
orang lain.
Rupanya mereka menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan uang yang akan diberikan kepada negara. Mereka menilai,
orang-orang selain anggota NII adalah kafir sehingga tidak jadi masalah
jika harta mereka dirampas. Mendengar adanya iuran, saya makin yakin
bahwa ajakan NII ini tidak beres.
Oh, ternyata ujung-ujungnya uang
toh, batin saya. Saya berpikir jangan-jangan ini adalah modus baru
kejahatan penipuan. Akhirnya, ketika sang kepala negara kembali
menanyakan niat bergabung atau tidak, saya menjawab tidak. "Kalau
ujung-ujungnya uang, saya enggak mau. Dan, aneh ada negara di dalam
negara," kata saya.
Akhirnya sang kepala negara itu menyudahi
diskusi kami. Ia beranjak ke luar ruangan. Setelah itu, teman lelaki
Dewi yang mengantar saya ke ruangan, masuk kamar, mengantarkan saya
kembali ke ruang tamu. Di ruang tamu, Dewi sudah menunggu. Ia mengaku
diajak bicara dengan kepala negara lain di kamar yang satunya.
Di
ruang tamu, teman lelaki Dewi kembali bertanya, "Bagaimana? Sudah
paham?". Saya jawab akan pikir-pikir. "Habis ujung-ujungnya uang," kata
saya.
Kemudian kami dipersilakan pulang. Di perjalanan pulang,
Dewi juga bercerita bahwa ia merasa ragu dengan adanya iuran yang
diwajibkan. Namun, kata Dewi, teman lelakinya itu kembali mengajak dia
dan saya untuk mengikuti pertemuan akbar di Balairung UI, Depok,
beberapa hari kemudian. Saya tidak merespons positif ajakan itu. Cukup
sampai di sini saya mengikuti rasa penasaran ini.
Sesampainya di
rumah, saya menceritakan pertemuan itu kepada orangtua dan kawan-kawan
saya. Sejumlah teman mengatakan kepada saya bahwa itu adalah gerakan NII
yang biasa merekrut mahasiswa di kampus-kampus. Teman-teman saya
menyarankan untuk melaporkan ke polisi.
Besoknya, Dewi menelpon
saya. Ia kembali mengajak saya mengikuti pertemuan di Balairung. Saya
beralasan dilarang oleh orangtua. Dia tak menyerah. Bahkan, dia bersedia
mendatangi rumah saya, meminta izin kepada orangtua saya agar
memperbolehkan saya ikut pertemuan. Ajakannya itu saya tolak. Saya malah
menyampaikan rencana saya untuk melaporkan NII ke polisi kepada Dewi.
Dewi
hanya "iya-iya saja". Setelah itu, Dewi tidak lagi menghubungi saya.
Aneh memang, padahal sebelumnya ia membujuk saya untuk ikut pertemuan di
Balairung UI. Nomor teleponnya kemudian tidak dapat dihubungi.
http://nasional.kompas.com/