Kewajian mengganti puasa Ramadhan
adalah suatu keniscayaan bagi setiap perempuan baligh. Namun bagaimana jika
kewajiban itu tidak terpenuhi samapi kemudian datang Ramadhan berikutnya?
Menunda puasa (qadha) kadangkala
terjadi karena tuntutan berbagai uzur. Jumhur ulama menyatakan kebolehan
penundaan ini disebabkan adanya uzur. Dalam hal ini, uzur yang dimaksud adalah
sakit, menyusui, dan hamil.
“Bahwa Ibnu Abbas berkata mengenai firman Allah ta’ala, ‘dan bagi orang
yang berat menjalankannya’ merupakan keringanan bagi orangtua yang telah lanjut
usia; baik laki-laki maupun perempuan yang sudah payah (sakit) untuk berpuasa,
agar mereka berbuka, dan memberi makan untuk setiap hari itu seorang miskin.
Begitu pun wanita hamil dan menyusui, jika mereka kuatiur akan keselamatan
anak-anak mereka, mereka boleh berbuka dan memberi makan.” (H.R Bazar)
Mengenai soal uzur tersebut,
Sayid Sabiq dalam Fikih Sunnah jilid 2 mengatakan, dibolehkan berbuka bagi
orang sakit yang memiliki kemungkinan untuk sembuh dan bagi musafir. Namun bagi
mereka qadha puasa. “...dan janganlah
kamu bunuh dirimu sesunguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S
An-Nisa:78). Menurutnya, andai orang sakit berpuasa dan rela menanggung
penderitaan, maka puasanya sah. Hanya saja tindakan itu makruh hukumnya karena
tidak hendak emnerima keringanan yang disukai Allah, dan siapa tahu mungkin ia
memeroleh bahaya karena perbuatannya itu.
Syaikh Musthafa Abul Ghaith dan
Syaikh Islam Darbalah dalam 1000 Tanya-Jawab Muslimah mengatakan, tidak wajib
mengqadha puasa secara langsung setelah bulan Ramadhan. Hal ini sesuai dengan
firman Allah ta’ala Q.S Al-Baqarah ayat 185, “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), (maka
wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hati yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari yang lain. Allah emnghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Namun jika penundaan qadha tiak
disebabkan oleh suatu uzur, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin melihatnya
sebagai suatu dosa yang meminta pertaubatan. Karena sesungguhnya tidak
dibolehkan menunda qadha puasa hingga datang Ramadhan berikutnya. Aisyah
radiyallahu’anha mengatakan ,”Aku
tidaklah mengqadha sesuatupun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan,
kecuali dibualn Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah shallallahu’alaihi wa
sallam.” (H.R At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad). Pernyataan Aisyah
ini menunjukkan adanya larangan mengqadha puasa hingga datang Ramadhan
berikutnya.
Selanjutnya, bagi para penunda
ini, kewajiban qadha sekaligus membayar fidyah, memberi makan seorang miskin
setiap hari dia tidak berpuasa. Kewajiban membayar fidyah ini merupakan kafarah,
penebus doa atas penundaan qadha yang disengaja. Pendapat ini diamini oleh Imam
Malik Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dll.
Alkisah seorang laki-laki sakit
dibulan Ramadhan. Dia tidak berpuasa. Lalu dia sehat namun tidak mengqadha
puasa yang ditinggalkannya sampai kemudian datang Ramadhan berikutnya. Atas
perkara ini, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,”Dia berpuasa untuk
bulan puasa yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk bulan Ramadhan
yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin untuk setiap hari
dia tidakberpuasa.” Kendali bersanad dhaif, dalil ini menjadi dasar adanya
kewajiban membayar fidyah pada penundaan qadha puasa.
Sementara Imam Abu Hanifah dan
sahabat-sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha’i, Imam Al-Hasan Al-Bashri, Imam
Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali, tidak sepakat dengan
pembayaran kafarat fidyah atas penundaan puasa. Meurutnya, tidak ada kewajiban
selain qadha puasa.
Dalil yang dipakai demi
menguatkan pendapat ini adalah nash Al-Qur’an “...maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain.”
(Q.S AL-Baqarah :183). Hari-hari yang lain dimaknai sebagai kelapangan tanpa
batas waktu tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya.
Pandangan ini sangat berbeda
dengan jumhur ulama yang melarang penundaan qadha hingga Ramadhan berikutnya,
selambat-lambatnya sampai bulan Sya’ban sebelum Ramadhan berikutnya,
sebagaimana disampaikan Aisyah dalam hadits riwayat At-Tirmidzi, Ibnu
Khuzaimah, dan Ahmad.
Yusuf Qardhawi da;am Fatwa-Fatwa
Kontemporer jilid 1 mendukung pandangan ini. Menurutnya, penyegeraan qadha
puasa termasuk penyegeraan kebaikan, sebagaimana firman Allah subhanahu wa
ta’ala. “Dan berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Q.S Al-Baqarah:148). Manusia tidak mengetahui
ajalnya, maka menyegerakan qadha puasa menjadi cerminan kehati-hatian bagi
dirinya, untuk mencapai kehidupan akhirat yang lebih baik dengan melepaskan
tanggungannya (puasa). Jika ia mengendurkannya karena suatu uzur, sakit atau
lemah, maka ia boleh mengqadhanya hingga Ramadhan berikutnya.
Perkara memberi makan atau
membayar fidyah, itu adalah amalan baik jika dipenuhi. Tapi jika ditinggalkan,
InsyaAllah tidak ada dosanya, mengingat tidak ada riwayat shahih mengenai hal
ini dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. Memang sebagian imam, Syafi’i
dan Hambali, berpendapat bahwa apabila telah lewat bulan Ramadhan berikutnya
sedangkan orang tersebut belum mengqadha utang puasa yang ditinggalkannya, maka
ia wajib mengqadha dan membayar fidyah sebanyak 1 mud, kira –kira sekitar ½ kg
lebih sedikit, berdasarkan amalan sejumlah sahabat.
Wallahu a’lam.
Sumber:
Paras - Bacaan Utama Wanita Islam
No 79/Tahun VII/Mei 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar