Cinta kepada buah hati adalah fitrah manusia yang dibenarkan syari’at.
Orang tua sewajibnya menempatkan cinta dan kasih sayangnya kepada anak
secara benar. Sebab anak adalah amanah bagi orang tua. Mengekspresikan
cinta kepada anak melalui didikan dan arahan yang benar, sebagai
tindakan bijaksana dari orang tua yang betul-betul memahami hakikat
cinta kepada anak. Membimbingnya agar tumbuh menjadi generasi yang lurus
dan tangguh, mampu mengemban tugas-tugasnya sebagai hamba Allah dan
sebagai bagian dari masyarakat. Sehingga mustahil dapat membimbing
mereka dengan arahan dan didikan yang benar, jika kita tidak memiliki
rasa cinta dan kasih sayang. Di sisi lain, tidak sedikit orang tua yang
keliru mengejewantahkan rasa cinta dan kasih sayangnya sehingga justru
melahirkan sikap manja, pengecut dan sederet sikap tercela lainnya pada
anak. Hingga membuahkan petaka dan penyesalan di penghujungnya. Lalu
bagaimanakah wujud cinta kita yang benar kepada anak?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah teladan agung yang telah
memberikan contoh kepada kita. Beliau adalah orang yang begitu besar
rasa kasih sayangnya terhadap anak-anak. Sejarah hidup Beliau telah
menorehkan kumpulan petunjuk, bagaimana mewujudkan rasa cinta kepada
anak, bagaimana mencurahkan cinta kepada anak secara seimbang dan
proporsional. Hingga kita dan sang buah hati kesayangan menuai
kebahagiaan di dunia dan akhirat, biidznillah. Itulah wujud cinta yang
hakiki, sehingga akan membuahkan kesuksesan sejati.
Untuk itu, agar kecintaan dan perasaan kasih-sayang kita kepada anak
seimbang dan benar sesuai dengan kaidah dan pedoman yang Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan, maka kita harus membangunnya,
sebagaimana kaidah-kaidah berikut.
ALLAH DAN RASULNYA HARUS DIDAHULUKAN
Orang tua mencintai anak ada batasannya. Begitu juga anak mencintai
bapak-ibunya ada batasannya. Yakni, seorang mukmin wajib mendahulukan
cinta kepada Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa
sallam dari segala macam kecintaan. Sehingga, cinta anak tidak boleh
mengalahkan cinta Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi
wa sallam. Seorang muslim harus mengutamakan perintah Allah Azza wa
Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, tunduk terhadap ajaran
agama serta menjauhi segala larangan syari’at.
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu , Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ, لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى أكُوْنَ
أحَبَّ إلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أجْمَعِيْنَ.
Dan demi Dzat yang jiwaku ada di tanganNya. Tidaklah salah seorang
diantara kalian beriman, hingga aku lebih dicintai daripada bapaknya,
anaknya dan semua umat manusia. [Muttafaqun’alaih].
Imam Tirmidzi meriwayatkan kisah Salman bin Amr bin Al Ahwas
Radhiyallahu 'anhu. Salman menuturkan,”Bapakku telah bercerita kepadaku,
bahwa ia ikut hadir pada haji Wada’ bersama Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam. Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah
memuji dan menyanjung Allah Azza wa Jalla serta memberi peringatan dan
nasihat. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,’Janganlah orang
tua melakukan kejahatan kepada anak, dan begitu juga anak jangan berbuat
kejahatan kepada orang tua’.”
Pernah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca firman Allah Azza wa Jalla.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَآ أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةُُ وَأَنَّ اللهَ عِندَهُ أَجْرُُ عَظِيمُُ
Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan. (Al Anfal:28), ketika melihat Hasan bin Ali terpeleset sementara
ia seorang bocah kecil, dan ketika itu Rasulullah sedang berkhutbah
lalu turun untuk menggendongnya.[1]
JANGAN BAKHIL, BODOH DAN MENJADI ORANG PENGECUT KARENA ANAK
Dari Khaulah binti Hukaim, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam pernah keluar dari rumah sedang menggendong salah seorang
cucunya, maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
والله إنَّكُمْ لَتُبَخِّلُوْنَ وَتُجَبِّنُوْنَ وَتُجَهِّلُوْنَ وَ إنَّكُمْ لَمِنْ رَيْحَانِ الله.
Dan demi Allah, sesungguhnya kalian membuat bakhil, membuat pengecut dan
membuat bodoh (orang tua). Dan kalian laksana bunga raihan karunia dari
Allah.[2]
Dari Hakim dari Al Aswad bin Khalaf dan Thabrani dari Khaulah binti
Hukaim berkata, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memegang
tangan Al Hasan, lalu Beliau menciumnya seraya Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bersabda.
إنَّ الْوَلَدَ مَبْخَلَةٌ مَجْبَنَةٌ مَجْهَلَةٌ مَخْزَنَةٌ.
Sesungguhnya anak itu membuat bakhil, pengecut, bodoh dan menyusahkan (orang tua).[3]
Ada beberapa komentar ulama tentang makna hadits di atas. Zamakhsyary
berkata,”Anak menjatuhkan orang tua kepada sifat bakhil dalam masalah
harta benda dengan alasan masa depan anak. Orang tua menjadi bodoh
karena sibuk mengurus anak hingga lalai mencari ilmu. Orang tua menjadi
pengecut hingga takut terbunuh, khawatir nanti anaknya terlantar. Dan
orang tua dibuat sedih karena berbagai masalah dan problem yang timbul
dari anak. Adapun sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam “Kalian
laksana bunga raihan karunia dari Allah”, karena orang tua mencium dan
memeluk anak, bagaikan mencium bunga raihan yang ditumbuhkan Allah.” [4]
Dan obat dari semua sifat tercela tersebut, baik bakhil, pengecut dan
bodoh, adalah dengan berpegang teguh kepada manhaj Islam, yaitu manhaj
yang telah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada para
sahabatnya, pendidikan yang dibangun di atas kecintaan kepada Allah Azza
wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ketaatan
secara total.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa ada seseorang yang
datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata,
”Sesungguhnya saya dalam keadaan susah”. (Kemudian) Beliau menyuruh
untuk menemui salah seorang isterinya, ia berkata,”Demi Dzat yang telah
mengutusmu dengan membawa kebenaran, tidak ada sesuatu dalam rumahku,
kecuali air”. Lalu Beliau menyuruh untuk menemui isteri yang lain, dan
ia mengatakan hal yang sama. Tetapi semua juga mengatakan seperti itu.
Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa bisa
menyambut tamu, Allah Azza wa Jalla akan merahmatinya.” Kemudian ada
seorang laki-laki dari kaum Anshar yang bernama Abu Thalhah berkata,
”Saya, wahai Rasulullah,” Maka ia mengajak tamu ke rumahnya, dan Abu
Thalhah berkata kepada isterinya,”Apakah engkau punya makanan?”
Isterinya menjawab,”Tidak, kecuali makanan untuk anak-anak.” Ia berkata,
”Hiburlah dan tidurkan mereka. Dan bila tamu kita datang, maka
tampakkan bahwa kita punya makanan. Dan bila tamu kita sedang makan,
maka bangkitlah ke arah lampu pura-pura ingin membenahi, lalu matikanlah
lampu itu.” Isterinya pun mengerjakan perintah itu. Setelah tamu
tersebut makan, maka Abu Thalhah semalam bersama isterinya tidur menahan
lapar. Lalu pada pagi hari ia datang kepada Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam dan Beliau bersabda, ”Sungguh, Allah kagum atau
tertawa terhadap tindakan fulan dan fulanah, maka turunlah firman
Allah.” [5]
وَيُوْسِرُو نَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَا صَةٌ
Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu)
Dalam riwayat lain Nabi bersabda.
قَدْ عَجِب الله مِنْ صَنِيْعِكُمَابِضَيْفِكُمَا
Allah sangat kagum terhadap sikap kalian berdua terhadap tamu kalian.
Inilah obat penyakit bakhil yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam kepada para sahabat. Maka semestinya kita meniru dan
mengikuti jejak mereka, karena mereka adalah sebaik-baik panutan dalam
pendidikan yang benar.
Dari Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata, ”Suatu hari,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memerintahkan kami agar
bersedekah. Dan ketika itu, aku sedang memiliki harta yang sangat
banyak. Maka aku berkata,’Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu
Bakar’. Lalu aku membawa separuh hartaku untuk disedekahkan. Maka
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Apa yang engkau
tinggalkan untuk keluargamu?” Aku menjawab,”Aku tinggalkan untuk
keluargaku semisalnya”. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya,”Wahai, Abu Bakar. Apa
yang engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Ia menjawab,”Aku tinggalkan
untuk mereka Allah dan RasulNya.” Maka aku (Umar) berkata,”Aku tidak
akan bisa mengunggulimu selamanya.” [6]
Inilah perlombaan dalam kedermawanan, cinta sedekah dan lebih
mengutamakan orang lain. Maka ajarilah anak-anak kita di atas ajaran
kebaikan, dan janganlah menjadikan cinta kepada anak membuat kita
mengalahkan cinta Allah Azza wa Jalla dan RasulNya Shallallahu 'alaihi
wa sallam.
SABAR TERHADAP COBAAN DARI ANAK
1. Sabar atas cobaan ketika anak sakit.
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَا يَزَالُ الْبَلَاءُ يَنْزِلُ بِالْمُؤْمِنِ وَ الْمُؤْمِنَةِ فِي
نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَمَا عَلَيْهِ مِنْ
خَطِيْئَةٍ وَفِي رِوَايَةٍ لِمَالِكٍ: وَمَا يَزَالُ الْمُؤْمِنُ يُضَارُّ
فِي وَلَدِهِ وَحَامَتِهِ حَتَّي يَلْقَي الله وَلَيْسَتْ لَهُ
خَطِيْئَةٌ.
Tidaklah musibah terus menimpa terhadap seorang mukmin laki-laki dan
mukmin perempuan pada dirinya, anaknya dan harta bendanya hingga nanti
bertemu Allah tidak tersisa kesalahan sama sekali. Dalam sebagian
riwayat imam Malik: Tidaklah seorang mukmin tertimpa musibah pada
anaknya dan sanak kerabatnya hingga nanti bertemu Allah tidak tersisa
kesalahan sama sekali. [7]
Abu Dawud meriwayatkan dari Muhammad bin Khalid As Sulami dari bapaknya
dari kakeknya, salah seorang sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
إنَّ الْعَبْدَ إذَا سَبَقَتْ لَهُ مِنَ الله منزلة فَلَمْ يَبْلُغْهَا
ابْتَللاَهُ الله تَعَالَى فِي جَسَدِهِ أوْ فِي مَالِهِ أوْ فِي وَلَدِهِ.
Sesungguhnya, apabila seorang hamba ingin mendapatkan kedudukan tinggi
dari sisi Allah sementara tidak sampai, maka Allah akan menimpakan
musibah pada jasadnya atau harta bendanya atau anaknya”.
Dalam riwayat lain disebutkan: Kemudian Allah memberi kesabaran hingga sampai kepada derajat yang diinginkan oleh Allah.
2. Sabar menghadapi kematian anak.
Allah Azza wa Jalla berfirman.
وَأَمَّا الْغُلاَمُ فَكَانَ أَبَوَاهُ مُؤْمِنَيْنِ فَخَشِينَآ أَن
يُرْهِقَهُمَا طُغْيَانًا وَكُفْرًا {80} فَأَرَدْنَآ أَن يُبْدِلَهُمَا
رَبُّهُمَا خَيْرًا مِنْهُ زَكَاةً وَأَقْرَبَ رُحْمًا
Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang mukmin
dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada
kesesatan dan kekafiran. Dan Kami menghendaki supaya Tuhan mereka
mengganti bagi mereka dengan anak yang lain yang lebih baik kesuciannya
dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).
[Al Kahfi: 80, 81].
Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata,”Kecintaan kedua orang tua kepada
anaknya akan membuat mereka mengikuti anak dalam kekufuran.”
Abu Qatadah berkata,”Ketika anak terlahir, kedua orang tua bergembira.
Dan ketika anak terbunuh, mereka sedih. Sehingga bila anak tersebut
tetap hidup, maka akan menjadi sumber kehancuran bagi orang tua.
Hendaknya kedua orang tua bersabar dan menerima ketentuan takdir Allah
Azza wa Jalla, karena putusan Allah Azza wa Jalla atas seorang mukmin
dalam hal yang tidak menyenangkan, mungkin lebih baik daripada dalam hal
yang menyenangkan hati.”
Dari Abu Musa Radhiyallahu 'anhu bahwasannya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إذَا مَاتَ وَلَدُ الْعَبْدِ قَالَ الله لِمَلَائِكَتِهِ: قَبَضْتُمْ
وَلَدَ عَبْدِي؟ فَيَقُوُلُوْنَ: نَعَمْ فَيَقُوْلُ: قَبَضْتُمْ ثَمْرَةَ
فُؤَادِهِ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: نَعَمْ. فَيَقُوْلُ: مَاذَا قَالَ عَبْدِي؟
حَمِدَكَ وَاسْتَرْجَعَكَ. فَيَقُوْلُ: اُبْنُوْا لِعَبْدِي بَيْتاً فِي
الْجَنَّةِ وَسَمُّوْهُ بَيْتَ الْحَمْدِ.
Jika putera seorang hamba meninggal dunia, Allah berfirman kepada
Malaikat,”Kalian telah mengambil putera hambaku?” Mereka berkata,” Ya.”
Allah berfirman,”Kalian telah mengambil buah hati hambaku?” Mereka
berkata,”Ya.” Allah berfirman,”Apa yang diucapkan oleh hambaku?” Mereka
berkata,”Ia memujiMu dan mengembalikan kepadaMu.” Maka Allah
berfirman,”Bangunkanlah rumah di surga, dan berilah nama dengan Baitul
Hamd.” [8]
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Anas bin Malik Radhiyallahu
'anhu, bahwa ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masuk rumah
dan bertemu dengan anak Beliau, Ibrahim, maka Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam menaruh kasihan kepadanya sementara kedua matanya
berlinang air mata. Abdurrahman bin Auf Radhiyallahu 'anhu bertanya
kepada Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, ”Wahai, Rasulullah.
Mengapa engkau menangis?” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
menjawab,”Wahai, Ibnu Auf. Ini adalah rahmat, kemudian diikuti dengan
yang lainnya.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
إنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إلَّا مَا
يَرْضَي رَبُّنَا إنَّا بَفِرَاقِكَ يَا إبْرَاهِيْمُ لَمَحْزُوْنُوْنَ.
Mata melelehkan air mata, hati bersedih, namun kita tidaklah berucap
kecuali dengan sesuatu yang membuat ridha Rabb kami dan sesungguhnya
kami sangat bersedih berpisah denganmu, wahai Ibrahim.
Ibnu Hajar Al Asqalani membawakan komentar tentang hadits di atas: Ibnu
Baththal dan ulama selain dia berkata: ”Hadits di atas menjelaskan
tangisan yang mubah. Juga kesedihan yang diperbolehkan, yaitu dengan
linangan air mata dan kesedihan hati tanpa harus dibarengi dengan
perasaan tidak terima dan benci terhadap keputusan Allah Azza wa Jalla.
Demikian itu makna yang paling jelas dalam hadits tersebut. Dalam hadits
di atas, juga terdapat anjuran untuk mencium, memeluk anak, menyusui
bayi, menjenguk anak kecil yang sedang sakit, menghadiri orang yang
sedang menghadapi sakaratul maut, menyayangi anak kecil dan keluarga,
dan boleh mengabarkan kesedihan, walaupun bila bisa menyembunyikannya
itu lebih baik. Dari hadits di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa yang
dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang
lain, karena ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbicara
dengan anaknya, anak tersebut belum faham pembicaraan karena dua hal:
yang pertama, karena dia masih sangat kecil, dan yang kedua, karena ia
sedang menghadapi sakaratul maut. Apabila yang diinginkan Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits ini adalah semua orang, maka
tangisan tersebut tidak termasuk dalam jenis tangisan yang dilarang”.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, dari Anas bin Malik Radhiyallahu
'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa salalm bersabda.
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ لَهُ ثَلَاثَةٌ لَمْ يَبْلُغُوْا الحنث إلاَّ
أدْخَلَهُ الله اْلْجَنَّةَ بِفَضْلِ رَحْمَتِهِ إيَّاهُمْ.
Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga anakanya yang belum
mencapai umur baligh, melainkan Allah akan memasukkannya ke dalam surga
karena karunia dan rahmatNya kepada mereka.
Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, juga dari Abu Hurairah
Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda
لاَ يَمُوْتُ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ لَا تَمَسُّهُ النَّارُ إلَّا تِحْلَةُ الْقَسَمِ.
Tidaklah seorang muslim tiga anaknya meninggal dunia tidak akan terkena neraka, kecuali hanya sekedar penebus ketentuan. [9]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
لاَ يَمُوْتُ لإحْدَاكُنَّ ثَلَاثَةٌ مِنَ الْوَلَدِ فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ. وَاثْنَانِ
Tidaklah salah seorang di antara kalian tiga anaknya meninggal dunia
lalu bersabar, kecuali ia masuk surga. Dan dua anak juga. [HR Bukhari
dan Muslim].
Allah Azza wa Jalla juga akan memberi penghargaan kepada seorang mukmin,
berupa pertemuan di surga dengan anak cucunya sebagaimana firman Allah
Azza wa Jalla.
وَالَّذِينَ ءَامَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ
أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَآأَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن
شَىْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
Dan orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka
dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka dan Kami
tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia
terikat dengan apa yang dikerjakannya. [Ath Thur:21].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu , bahwa seorang wanita datang
kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa anak
kecil lalu berkata, ”Wahai, Rasulullah. Berdo’alah untuknya, karena aku
menguburkan tiga anak.” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm
bersabda, ”Engkau telah memasang tirai yang kuat dari api neraka. Ia
memanggil di pintu surga, lalu diantara mereka yang bertemu dengan
bapaknya lalu memegang baju orang tuanya dan tidak dilepaskan hingga
memasukkan ke dalam surga.” [HR Muslim].
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, bahwa ada seorang wanita
yang datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu
berkata,”Wahai, Rasulullah. Sesungguhnya kami tidak mampu bertemu
denganmu di suatu majlis, maka berilah janji waktu pada suatu hari agar
kami bertanya tentang agama?” Maka Beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm
bersabda,”Kita akan bertemu di rumah fulan.” Maka Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam datang pada hari yang telah dijanjikan dan Beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَا مِنْكُمْ امْرَأةٌ يَمُوْتَ لَهَا ثَلَاثٌ مِنَ الْوَلَدِ
فَتَحْتَسِبُهُمْ إلَّا دَخَلَتْ الْجَنَّةَ. قاَلَتِ امْرَأةٌ وَاثْناَنِ
قَالَ: وَاثْناَنِ.
Tidaklah salah seorang wanita di antara kalian tiga anaknya meninggal
dunia lalu bersabar berharap pahala, kecuali ia masuk surga. Seorang
wanita bertanya,”Bila yang meninggal dunia dua anak?” Beliau
bersabda,”Dan dua anak juga.” [HR Muslim].
Kepada saudaraku kaum muslimin, para orang tua sekaligus murabbi
(pendidik) generasi umat......, janganlah meremehkan kebaikan yang bisa
kita lakukan, meskipun hanya kecil sekalipun. Marilah kita mencurahkan
perhatian untuk berbuat yang sebaik-baiknya bagi anak-anak kita. Semoga
Allah memudahkan dan meringankan langkah kita untuk menggapai
keridhaanNya.
(Diangkat dan diterjamahkan Ummu Rasyidah, dari kitab Kaifa Turabbi
Waladan Salihan, karya Al Akh Al Maghribi bin As Sayyid Mahmud Al
Maghribi).
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VIII/1425H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.
8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Tirmidzi, 3774; An Nasa’i, 3/192; dari hadits Buraidah tentang
Hasan dan Husain. Tirmidzi berkata,”Ini hadits hasan gharib.”
[2]. Riwayat Imam Ahmad, 2/409 dan Tirmidzi, 1910.
[3]. Riwayat Ibnu Majah, 3666; Shahihul Jami’, 1/1990.
[4]. Manhaj Tarbawiyyah Nubuwah Lithafal, 198.
[5]. HR Bukhari Muslim
[6]. Riwayat Tirmidzi, 3675; Hakim dalam Mustadrak, 1/414 dan dia berkata: Shahih.
[7]. Dikeluarkan Tirmidzi, 2401; Ahmad, 2/450; Shahihul Jami’, 2/2815 dan di dalam Ash Shahihah, 2280
[8]. Riwayat Tirmidzi, 1021 dan dia berkata: “Hadits hasan shahih.”; Jami’ush Shaghir, 1/795; Ash Shahihah, 1407.
[9]. Yaitu ketentuan Allah dalam firmannya. Lihat Fathul Bari jilid 3/461-463 (redaksi).
http://almanhaj.or.id/