Bismillaahirrahmaanirrahiim
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah landasan tempat
berdirinya Islam secara keseluruhan. Tanpa ma’rifat ini, seluruh amal ibadah
dalam Islam atau untuk Islam menjadi tidak memiliki nilai hakiki. Ini
dikarenakan dalam kondisi seperti itu, orang tersebut kehilangan ruh-nya.
Ma’rifat bukanlah mengenali dzat Allah karena hal ini tidak mungkin terjangkau
oleh kapasitas manusia yang terbatas. Menurut Ibn Al Qayyim, Ma’rifat yang
dimaksudkan oleh ahlul ma’rifat
(orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan
apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’rifatullah
dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat
dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan
mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang
dianggap ma’rifatullah jika ia telah mengenali asma’ Allah, sifat Allah, dan
af’al (perbuatan) Allah yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam
kehidupan alam ini. Bekal pengetahuan ini ditunjukkan dalam kehidupannya
sehari-hari seperti: sikap sidq (benar) dalam bermuamalah dengan Allah, ikhlas
dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah, pembersihan diri dari
akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan
dengan kehendak Allah subhanahuwata’ala, sabar dan menerima pemberlakuan hukum
dan aturan Allah atas diirnya, berdakwah dan mengajak orang lain mengikuti
kebenaran agamanya, membersihkan dakwahnya itu dari pengaruh perasaan, logika
dan subyektivitas siapapun dan hanya menyerukan ajaran agama seperti yang
pernah diajarkan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Figur
teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.
Beliaulah orang yang paling utama dalam mengenali Allah subhanahuwata’ala.
Beliau bersabda:
“Sayalah orang yang
paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”.
H.R Al Bukhari dan Muslim.
Hadist
ini ini Beliau ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin
mendekatkan diir kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.
Tingkatan
berikutnya setelah Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam yaitu ulama amilun
(ulama yang mengamalkan ilmunya). Allah berfirman:
“Sesungguhnya yang
takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama”.
(Q.S Fathir :28)
Orang
yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya
dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang
rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah,
pengajar, mujahid, pelayan masyarakat, dermawan, dll. Tidak ada ruang dan waktu
ibadah kepada Allah, kecuali dia ada disana. Dan tidak ada ruang dan waktu
larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada
sebagian ulama mengatakan:”Dduuk disisi orang yang mengenali Allah akan
mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu: dari ragu
menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunis menjadi cinta
akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’, dari buruk hati menjadi nasehat.”
Ma’rifatullah
ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan
tauhid, yaitu: tauhid rububiyyah,
tauhid asma dan sifat (sering disebut tauhid
al ma’rifat wa al itsbat), dan tauhid
uluhiyyah yang merupakan tauhid
thalab (perintah) yang harus dilakukan.
Urgensi Ma’rifatullah
1. Allah adalah Tuhan semesta alam
“Katakanlah(Muhammad)
‘ siapakah Tuhan langit dan bumi?’ Katakanlah ‘Allah’. Katakanlah, ‘pantaskah
kamu mengambil pelindung-pelindung selain Allah, padahal mereka tidak kuasa
mendatangkan manfaat maupun menolak mudarat bagi dirinya sendiri?’ katakanlah ,’samakah
orang yang buta dengan yang dapat melihat?’ atau samakah yang gelap dengan yang
terang? Apakah mereka menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah yang dapat
menciptakan seperti ciptaan-Nya sehingga kedua ciptaan itu serupa menurut
pandangan mereka?’ katakanlah ‘Allah adalah pencipta segala sesuatu dan Dia
Tuhan Yang Maha Esa”. (QS Ar-Ra’d :16)
2. Mengetahui tujuan hidup
Ma’rifatullah adalah puncak
kesadaran yang akan menentukan
perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karen ama’rifatullah akan menjelaskan
tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak
orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana
makhluk hidup lain (binatang ternak).
“Allah
tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”.
(QS. Az-Zariyaat:56)
3. Merasakan kehidupan yang tenang dan lapang
Ma’rifatullah juga merupakan asas
(landasan) perjalanan ruhiyyah manusia secara keseluruhan. Seorang yang
mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan
panjang antara bersyukur dan bersabar. Sabda Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam:
“Amat
mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain
mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur.”
(HR Muslim)
4. Selain itu, dari ma’rifatullah inilah manusia
terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk memelajari cara terbaik
mendekatkan diri kepada Allah. Karena para nabi dan rasul lah orang-orang yang
diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah. Dari ma’rifatullah ini manusia
akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti malaikat, jin, dan ruh.
5. Dari ma’rifat inilah manusia mengetahui
perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada
kehidupan Barzaniyyah (alam kubur) dan kehidupan akhirat.
Sarana ma’rifatullah
1. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan
Allah. Allah berfirman:
”Perhatikanlah
apa yang ada dibumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul
yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”
(QS. Yunus:101)
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
bersabda:”Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang
Allah, karenakamu tidak akan mampu.” (HR Abu Nu’aim)
2. Para Rasul
Para rasul yang membawa kitab-kitab yang
berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan
konsekuensi-konsekuensinya. Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling
mengenali Allah. Allah berfirman:
”Sesungguhnya
Kamitelah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya menausi
dapat melaksanakan keadilan.” (QS Al Hadid:25)
3. Asmaul Husna dan Sifat Allah
Mengenalli asma dan sifat Allah disertai
dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk
mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk mengenalkan diri
kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia
untuk dapat mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan
menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran
cahaya Allah. Allah berfirman:
“Katakanlah:
serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia
mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik).” (QS
Al-Isra:110).
“Hanya
milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al
husna itu…” (QS Al-A’raf:180)
4. Fenomena Alam (Alam semesta)
“Dan banyak sekali tanda-tanda (kekuasaan Allah)
dilangit dan di bumi yang mereka melaluinya, sedang mereka berpaling dari
padanya.” (QS. Yusuf:105)
5. Al-Qur’an
“Sebenarnya, Al-Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata
didalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (QS. Al-Ankabut:49)
6. Mu’jizat
“Dan rasul-Nya pun berada ditengah-tengah kamu” (QS. Ali Imran:101)
“Telah dekat datangnya saat itu dan telah terbelah
bulan dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu benda (mu’jizat),
mereka berpaling dan berkata:’ (Ini adalah) sihir yang terus menerus’.” (QS. Al-Qamar:1-2)
Faktor Penghalang
Ma’rifatullah
1. Menyerupakan
(menganalogikan) sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan
istilah tamtsil atau tasybih. Ketika
Allah ta’ala menetapkan
diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsilmengatakan
wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini
didustakan oleh Allah dalam firman-Nya (yang artinya), “Tidak
ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan
melihat.” (QS. Asy
Syuura: 11). “Maka janganlah kamu mengadakan
sekutu-sekutu bagi Allah (yang kamu serupakan dengan-Nya).” (QS. An
Nahl: 74). Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena
Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan
kekurangan.
2. Menolak nama
dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk
penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya
seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan
arti iradatul lit tatswib (keinginan
untuk memberi pahala). Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika
kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi
menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini
tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada
sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia
memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allahta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun
yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat
mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki
nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah
dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i,
guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah
yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas!
3. Menetapkan
suatu kaifiyah (bentuk/cara) bagi sifat Allah ta’ala.
Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini
adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat
Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan
Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan
terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika
hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita
lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?!
Membebaskan diri untuk Menuju Ma’rifatullah
1.
Bebaskan Diri dari Kesombongan
“Aku
akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alas
an yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku. Mereka jika melihat tiap-tiap
ayat(Ku), mereka tidak beriman kepadanya, dan jika mereka melihat jalan yang
membawa kepada petunjuk, mereka tidak mau menempuhnya, tetapi jika mereka
melihat jalan kesesatan, mereka terus menempuhnya. Yang demikian itu adalah
karena mereka mendustakan ayat-ayat KAmi dan mereka selalu lalai dari padanya.” (QS Al-A’raaf: 146)
2.
Bebaskna Diri dari Kedzaliman dan
Dusta
“Dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.” (QS. Ash-Shaf:7)
“sesungguhnya
Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar.” (QS Az-Zumar:3)
3.
Bebaskan Diri dari Tindakan Merusak di Muka
Bumi, Melanggar Perjanjian dan Memutuskan Hubungan yang Seharusnya Disambung
“Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik,
(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah Perjanjian itu
teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk
menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang
yang rugi.” (QS
Al-Baqarah:26-27)
4.
Bebaskan Diri dari Kelalaian
“Sesungguhnya kehidupan dunia hanyalah
permainan dan senda gurau.” (QS Muhammad:36)
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi , dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang –orang yang berakal, (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali Imran:190-191)
5.
Bebaskan Diri dari Perbuatan Dosa
“Demikianlah, Kami memasukkan (rasa ingkar dan memperolok-olokkan itu)
kedalam hati orang-orang yang berdosa (orang-orang kafir), mereka tidak beriman
kepadanya (Alquran) dan sesungguhnya telah berlalu sunnatullah terhadap
orang-orang terdahulu.” (QS. Al-Hijr:12-13)
6.
Bebaskan Diri dari Keraguan dalam Menerima
Kebenaran , Saat Melihatnya dengan Amat Jelas
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti
mereka belum pernah beriman kepadanya (Alquran) pada permulaannya, dan Kami
biarkanmereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Qs. Al-An’am:110)
Pandangan orang-Orang Kafir
Terhadap Jalan Ini
Banyak orang baik pada masa lalu
maupun pada masa kini, yang mengingkari wujud Allah, dengan alasan bahwa mereka
tidak dapat merasakan keberadaan-Nya dengan indera mereka. Mereka berpendapat
bahwa jalan untuk mengetahui segala sesuatu adalah indera itu. Karena itu,
mereka menuduh orang yang beriman kepada Allah sebagai pengkhayal, sesat,
pembuat klenik, sakit jiwa, tidak ilmiah, dan tuduh-tuduhan lainnya yang
dialamatkan oleh orang-orang kafir terhadap kaum beriman. Dengan alasan,
orang-orang yang beriman itu mengimani wujud Allah bukan dengan jalan inderawi.
Mereka
yang berkata bahwa mereka hanya mengimani apa yang dapat ditangkap oleh indera
mereka, terbantah sendiri oleh realitas material tempat mereka hidup. Misalnya,
mereka mengimani adanya kekuatan gravitasi dan hukumnya meskipun mereka tidak
melihat keberadaannya secara inderawi. Mereka mengimani keberadaan rasio
meskipun mereka tidak dapat melihat wujudnya.
Wallahu a’lam..
Daftar Pustaka
Hawwa, Sa’id.----. Ma’rifat
Dzat Ilahiyah. Bandung: Pustaka Lingkar Studi Islam Ad-Difaa’.
Mujahid,
Abu. 2007. Ma’rifatullah Puncak Akidah
Islam. http://almanaar.wordpress.com/2007/10/24/marifatullah-puncak-akidah-islam/ di akses 11 November 2011 pukul 23.57 wib
Muslim,
Muhammad Nur Ichwan. 2009. Urgensi dan Kesalahan
dalam Ma’rifatullah. http://buletin.muslim.or.id/manhaj/urgensi-dan-kesalahan-dalam-marifatullah di akses 18-11-2011 pukul 06.32 wib