Sahabatku,
Kehidupan manusia di dunia, tak ubahnya sebuah perjalanan
yang pasti ada akhirnya. Dan tahukah sahabat apa yang akan menjadi akhir dari
perjalanan kita di dunia ini – untuk selanjutnya memulai sebuah perjalanan baru ke negeri yang masih asing? Itulah kematian.
Kematianlah, akhir kisah hidup kita di dunia.
Lalu, adakah kita siap menjumpainya ketika malaikat pencabut
nyawa sudah datang menjemput? Adakah kita siap ketika kain kafan akan
membungkus tubuh kita? Adakah kita siap ketika tubuh kita akan diturunkan ke
liang lahat? Ketika papan-papan menutup jasad, ketika gumpalan tanah menimbun,
apakah kita siap? Ingatlah kita pasti mati. Kita pasti berpisah dengan ibu
bapak kita. Merekakah yang akan berpulang lebih dulu? Ataukah malah kita yang
mendahului mereka? Kita pasti berpisah dengan istri dan anak-anak. Betapapun
kita teramat sayang kepada mereka, Allah pasti membuat kematian yang akan
mengakhiri segalanya.
“Kullu nafsin dzaa iqatul maut,” [QS. Ali Imran (3) ; 19)
demikian Allah Azza wa Jalla menegaskan. Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan
mati! Dan sakaratul maut itu sakit sekali, kambing saja yang tidak mempunyai
dosa apapun, ketika disembelih, Allah memperlihatkan kepada kita, betapa
sulitnya ia meregang nyawa. Ayam adalah mahluk Allah yang selalu bertasbih, dan
karena itu ia bersih dari dosa. Tetapi, ketika disembelih betapa ia
menggelepar-gelepar tanda teramat sakitnya melepas nyawa.
Sahabat,
Kita pun demikian halnya. Semakin busuk diri kita ketika hidup,
mungkin saat-saat tercerabutnya nyawa dari badan akan merupakan saat-saat yang
teramat pahit dan menderita. Tubuh ini laksana dibelit kawat berduri yang
menghunjam ke setiap bagian otot, kemudian ditarik, sehingga tercabik-cabik dan
tercerabut dari tulang.
Kita pasti akan meninggalkan segala yang apa kita cintai.
Hanya kain kafan yang menemani. Mungkin saat-saat kita meninggal, orang-orang
menangis, tapi mungkin juga sebaliknya, menertawakan. Jasad yang terbujur kaku
pun dengan tanpa daya diusung orang menuju liang kubur. Ya, disanalah rumah
terakhir kita. Tidak ada yang kita bawa. Kita akan dibaringkan menghadap
kiblat. Kain kafan dibuka sedikit pada wajah kita agar menyentuh tanah.
Papan-papan pun akan mempersempit ruang lahat. Kemudian, pelan-pelan tanah akan
menutup dang menghimpit, hingga tak ada sedikit pun ruang yang tersisa. Mungkin
yang akan menimbunkan tanah itu justru orang-orang yang paling kita cintai.
Semakin lama semakin gelap dan pekat. Kita tak lagi
mempunyai teman, selain amal baik. Harta, pangkat, jabatan, yang mati-matian
kita cari sampai tidak ingat shalat, tidak ingat shaum, tidak ingat zakat.
Semuanya tidak ada yang mampu menolong kita. Bahkan mungkin tumpukan harta yang
kita tinggalkan malah memperberat kita karena dipakai maksiat oleh anak dan
keturunan kita.
Sahabat,
Saat itulah kita akan mempertanggungjawabkan segala apa yang
pernah diperbuat di dunia. “Hai dungu,” demikian mungkin kita disergah.
“Mengapa engkau begitu zhalim kepada dirimu sendiri? Kepalamu tidak pernah kau
gunakan untuk bersujud. Yang melingkar-lingkar dalam otakmu hanya urusan dunia
belaka. Padahal ternyata semua itu tidak bisa kau bawa. Tanganmu berlumur
aniaya, sedang berderma menolong sesama tidak pernah ada. Matamu bergelimang
maksiat, sedang Al-Qur’an tidak pernah kau singkap dan kau lihat. Di telingamu
hanya berdenging musik sia-sia dan kata-kata penuh maksiat, sedang kebenaran
tak sedikit pun kau simak meski sesaat. Kenapa keningmu hanya kau dongakkan
penuh keangkuhan, tetapi tidak sekalipun kau letakkan di atas sajadah
kepasrahan?”
Mungkin saat itulah kita melolong-lolong menjerit penuh
penyesalan. Ketika itulah akan kita rasakan gemeretaknya tulang-belulang di
sekujur tubuh hancur luluh dihimpit oleh kubur yang teramat benci kepada jasad
yang sarat bergelimang dosa.
Sahabat,
Ketahuilah bahwa kematian itu pasti, dan siksa kubur pun
pasti bagi orang yang tidak mempersiapkan diri.
(Sumber : Jurnal MQ Vol.I/No.1/Mei 2001)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar